Selasa, 06 Januari 2015

Artikel : EKSISTENSIALISME

EKSISTENSIALISME
Istilah eksistensi berasal dari dua suku kata yaitu eks yang berate ke luar dan  sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan. Jadi secara etimologis eksistensi adalah cara manusia ber-ada (meng-ada) di dunia. Eksistensi sebagai cara ber-ada-nya manusia sebagai subjek atau pribadi yang sadar diri dan meiliki penyadaran diri, yang ke luar dari dalam dirinya sendiri. Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada.tekanan perhatian dan pikiran aliran ini adalah berkenaan dengan penyadaran manusia melalui pengalaman subjektifnya. Keunikan dan kedudukan manusia sebagai pribadi (personal) adalah titik tekan dari eksistensialisme.
Eksistensialisme muncul sebagai aliran filsafat diabad kedua puluh. Aliran ini dirintis oleh filsuf asal Denmark bernama Soren Aabye Kierkegard (1813-1855) dan dikembangkan oleh  seorang filsuf  asal Jerman, Martin Heidegger. Aliran eksistensialisme merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh Hussel. Ada banyak tokoh filsuf aliran eksistensialisme antara lain, Nicholas Berdyaev (1874-1948),Arbert Camus (1913-1960),Karl Jaspers (1883-1969),Gabriel Marcel (1889-1973),Jean Paul Sartre (1905-1980) dan lain-lain. Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret. Pandangan ini muncul ketika manusia mengalami krisis  eksistensinya, yaitu ketika  individu melupakan sifat individualitasnya. Aliran ini muncul dan berkembang sebagai suatu reaksi dan kritik kerena ketidaksetujuaan dari beberapa sifat dari filsafat yang muncul sebelumnya, dan karena ketidaksetujuan terhadap  keadaan masyarakat modern. Sebagai contoh, Kierkegaard prihatin terhadap semakin terdesaknya manusia sebagai subjek dengan harkat pribadinya oleh proses permasalahan  yang semakin menjadi sejalan dengan  proses industrialisasi dan kemajuan  teknologi. Dengan kondisi demikian, maka nilai personal akan tergerus dengan seiring perkembangan zaman, segala sesuatunya akan mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan kepenting umum. Pendapat-pendapat umum akan lebih didengar dari pada pendapat pribadi. Dalam hal ini Kierkegaard mengungkapkan bahwa peran pers sangat besar pengaruhnya.
Setali tiga uang dengan Kierkegaard, Nicholas Berdyaev berpendapat bahwa kemajuan teknologi memiliki andil besar terhadap permasalahan serta berjangkitnya penularan mental yang membuat orang-orang memiliki keseragaman sikap dan pendapat dan dengan keadaan seperti ini maka nilai originalitas pribadi semakin krisis dan bahkan bisa hilang. Padahal eksistensi itu akan bermakna sebagai keberadaan secara individu atau personal.  Sebagai individu, manusia merupakan ketunggalan dan tidak bisa ditukar, karena individu merupakan subjek dengan ciri khasnya masing-masing.
Jaspers berpendapat bahwa kemajuan teknologi akan memudarkan nilai-nilai spiritual  dalam kehidupan manusia.  Jasperspun merasa prihatin dengan permasalahan dan penyamarataan yang melanda manusia. Matrialisme memudarkan spiritualisme.  Bahkan Jaspers meramalkan ada kecenderungan yang manghanyutkan manusia di zaman modern. Akan terjadi reduksi terhadap manusia sebagai keutuhan  dan akan semakin terpenjaralah keutuhannya yang bebas.Jaspers bukan satu-satunya tokoh yang prihatin terhadap reduksi yang terjadi antara manusia dan mesin. Yang menggejala sebagai proses detotalisasi (tidak diindahkannya manusia sebagai suatu keutuhan),dehumanisasi (diabaikannya kodrat kemanusiaan),despiritualisasi (tak diacuhkannya nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari), dan depersonalisasi (dibekukanny aktualisasi diri manusia sebagai pribadi) kelak akan menimbulkan kebingungungan atas eksistensinya sebagai manusia. Jaspers mengatakan bahwa penyelesaian dari masalah-masalah ini adalah kembali kepada kehendak manusia itu sendiri.
Memang pada dasarnya eksistensialisme mengkritik kemajuan teknologi yang mereduksi makna eksistensi manusia. Namun, tidak ada satupun filsuf yang menentang laju perkembangan teknologi, tetapi para filsuf menyadarkan kita untuk waspadai dampak dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi. Bagaimana cepatnya laju kemajuan teknologi, nilai-nilai manusiawi harus tetap dipertahankan. Para filsuf menyerukan bahwa manusia harus tetap menjaga eksistensinya sebagai individu yang otentik.
Dalam filsafat dibedakan antaraesensia daneksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan
A. Sejarah Kemunculan Aliran Filsafat Eksistensialisme
          Eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena latar belakang ketidakpuasan beberapa filusuf yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani ketika itu seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal dan primitif yang sangat dari akademik. Salah satu latar belakang dan alasan lahirnya aliran ini juga karena sadarnya beberapa golongan filusuf yang menyadari bahwa manusia mulai terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat mereka kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia atau mahluk yang bereksistensi dengan alam dan lingkungan sekitar bukan hanya dengan semua serba instant.
B. Pengertian Sederhana Aliran Eksistensialisme
          Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya.
          Adapun eksistensialisme menurut pengertian terminologinya adalah suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan segala sesuatu terhadap manusia dan segala sesuatu yang mengiringinya, dan dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi atau aktif dengan sesuatu yang ada disekelilingnya, serta mengkaji cara kerja manusia ketika berada di alam dunia ini dengan kesadaran. Disini dapat disimpulkan bahwa pusat renungan atau kajian dari eksistensialisme adalah manusia konkret.
 Selanjutnya adalah ciri-ciri dari aliran eksistensialisme yang terdiri dari 2 ciri, yaitu yang pertama adalah selalu melihat cara manusia berada dan eksistensi sendiri disini diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, dan yang ke-dua adalah manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai serta didasari dari pengalaman yang konkret atau empiris yang kita kenal.
FILSAFAT UMUM EKSISTENSIALISME
a.     METAFISIKA
Martin Heidegger  menyebut realistas fisik dan material sebagai “yang berada” (seiende), yang artinya  realitas yang bersifat fisik  atau benda-benda terletak begitu saja (voourhanden) di depan manusia, tanpa adanya hubungan dengan manusia itu sendiri. Realitas ini tidak memiliki kesadaran dan penyadaran diri; dan realitas ini hanya akan berarti jika dihubungkan dengan manusia. Jaen Paul Sartre menyebutkan bahwa realitas fisikatau material tersebut yang “berada dalam diri”. Menurut Sartre, realitas fisik tidak memiliki hubungan dengan keberadaannya. Sebagai contoh sebuah handphone tidak memiliki hubungan dengan keberadaannya sebagai handphone. Handphone tidak bertanggung jawab atas fakta bahwa ia adalah sebuah handphone.  Atau bisa dengan contoh-contoh yang lain.
Semua yang berada dalam diri bersifat tidak aktif,tetapi juga tidak pasif. Dengan kata lain, segala sesuatu yang ada dalam diri akan bermakna ketika diberikan makna oleh manusia itu sendiri.
Terdapat perbedaan dengan realitas fisik (material), Tuhan menciptakan manusia dalam arti bahwa manusia bertanggung jawab atas eksistensinya. Manusia sadar diri dan memiliki penyadaran diri.Dasein (berada di sana, di tempat)  biasa disebut juga sebagai eksistensi.
Menurut pada kaum eksistensialisme, keberadaan manusia di dunia ini karena “terlempar”dan “terdampar”, tahu-tahu sudah ada di dunia. Keberadaan manusia di dunia bukan atas kemauannya, meliankan inilah sebuah realitas dan nasib manusia. Memang awalnya keberadaan manusia di dunia ini masih belum jelas (absurd) hanya saja seiring berjalannya waktu manusia dihadapkan pada kenyatan bahwa manusia harus terus bereksistensi.  Dalam menjalankan dan  mempertahankan eksistensinya, manusia selalu dihadapkan pada keharusan dan pilihan, tetapi manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya. Disamping kebebasan, manusiapun disandingkan dengan tanggung jawab atas kebebasan yang dimiliki. Dalam menjalani perannya sebagai manusia, seorang individu akan terus memujudkan apa saja yang telah direncanakan, inilah yang disebut manusia meg-ada-kan dirinya sendiri.  Dalam mewujudkan setiap rencananya, manusia memiliki kecemasan (Angst) terhadap dirinya sendiri.  Biasanya perasaan-perasaan seperti ini akan muncul tiba-tiba , akan muncul perasaan kesepian dan segala sesuatunya terasa tiada bermakna. Menurut Jean Paul Sartre, kecemasan ini diakibatkan oleh kebebasan manusia itu sendiri. Sartre menyarankan manusia untuk hidup dengan melihaat pekerjaan kita, kepada tugas-tugas hidup kita bersama, kepada masa depan yang sedang kita bangun (Hadiwijono,1992). Artinya kita hidup untuk  masa depan kita dan menjalankan apa yang sedang kita alami sekarang, bukan untuk masa lalu yang telah kita lalui dan tidak mungkin untuk kembali.
Lain Sartre lain pula Kierkegaard, ia menyatakan bahwa penyebab kecemasan-kecemasan itu adalah perjalanan pencarian makna eksistensi manusia selalu menyibukan manusia, dan setiap usaha-usaha itu berakhir di tepi jurang yang dalam. Maksudnya adalah manusia tidak pernah menemukan makna hidupnya dengan perjalananperjalanan itu. Tetapi manusia harus tetap menjalani eksistensinya.Dengan demikian manusia tidak pernah berhenti menetukan pilihan. Mengenai kecemasan-kecemasan itu, Kierkegaard mengatakan bahwa manusia tidak memiliki pilihan lain selain berpaling kepada Tuhan. Menurutnya eksistensi tanpa kepercayaan kepada Tuhan menjadi keberadaan tanpa makna.  Begitupun dengan Berdyaev yang menyatakan bahwa hubungan kepada Tuhan adalah satu-satunya hubungan yang meniadakan kemerdekaan manusia untuk tampil dengan kesejatian pribadinya (personal authenticity). Menurut Berdyaev tanpa adanya Tuhan sebagai mitra dialog, manusia akan merasakan kehampaan makna eksistensi dan akan menimbulkan ketidakpastian serta kecemasan belaka (Fuad Hasan,1996).
Dapat disimpulkan bahwa manusia ber-ada di dunia fana ini bukan karena pilihannya, jadi pada dasarnya kehadiran manusia di alam fana ini adalah tidak masuk akal (absurd).  Yang terpenting adalah manusia melaksankan kehidupan ini secara otentik, yaitu dengan bebas memilih untuk pribadinya dengan tanggung jawab yang mengiringi atas setiap kebebasan. Dalam perkembangan eksistensialisme mendahului esensi : individu ada, dan selanjutnya menjadi.
b.     EPISTEMOLOGI
Pengalaman dalam hidup manusia adalah sebagai media pembelajaran, dengan pengalaman manusia menjadi banyak mengetahui. Lalu apakah sama pengertian pengalaman menurut para filsuf eksistensialisme dengan aliran yang lain seperti empirisme atau realism ?
Usut punya usut ternyata frame mengenai pengalaman antara filsuf eksistensialisme berbeda dengan filsusf aliran lainnya. Bagi para filsuf eksistensialisme, pengalaman adalah pengalaman yang terhayati oleh individu  sebagai subjek atau pribadi.
Seperti kita tahu dalam filsafat kebenaran tidaklah mutlak, kebenaran bersifat relatif untuk setiap pertimbangan individu. Untuk itu manusia harus menentukan mana yang benar dan mana yang penting untuk hidupnya. Para filsuf eksistensialisme lebih cenderung bersikap skeptis terhadap pengetahuan yang bersifat objektif, tetapi mereka mengakui adanya kemungkinan manusia untuk dapat mencapai kebenaran.
c.      AKSIOLOGI
Seperti halnya kebenaran, para filsuf menyakini bahwa nilai bersifat tidak absolut sebab nilai ditentukan dari luar. Disinilah peran kebebasan memilih setiap individu perseorangan berperan. Untuk itu terdapat kebebasan pada manusia untuk mengikuti suatu nilai norma pada masyarakat. Namun, meskipun demikian dalam masyarakat tentulah terdapat standar sebagai titik tolak  yang bersifat wajib untuk diikuti.
IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN
a. Tujuan Pendidikan
          Tujuan utama pendidikan menurut para filsuf Eksistensialisme adalah untuk membimbing individu ke dalam suatu penyadaran diri dan mengembangkan (to promote) komitmen yang berhasil mengenai sesuatu yang penting  dan bermakna bagi eksistensinya.
          Tujuan khusus pendidikan menurut para filsuf Eksistensialisme adalah untuk:
          1. mengembangkan penyadaran diri secara individual
          2. menyediakan kesempatan-kesempatan kepada individu untuk bebas                menentukan pilihan-pilihan etis
          3. mendorong pengembangan pengetahuan diri (self knowledge)
          4. mengembangkan rasa tanggung jawab diri pribadi (self responsibility)
          5. membangun rasa komitmen individual
b. Kurikulum Pendidikan
          1. suatu kurikulum aktivitas
          2. minat peserta didik sebagai dasar perencanaan aktivitas
          3. kebebasan yang penuh dari peserta didik untuk belajar secara individual        maupun secara kelompok
          4. kurikulum yang didasarkan atas kebutuhn-kebutuhn yang dekat
c. Metode Pendidikan
          Setiap individu harus bebas mengembangkan tujuan-tujuannya dan diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut melalui kegiatan belajar mereka sendiri. Masalah-masalah individual peserta didik harus direfleksikan oleh pendidik (guru) sehingga dengan demikian menimbulkan pemahaman peserta didik mengenai hakekat masalahnya sendiri.
d. Peranan Pendidik dan Peserta Didik
          Peranan Pendidik adalah sebagai pembimbing yang demoratis, untuk melindungi dan menjaga kebebasan akademik.
          Peranan Peserta Didik adalah memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sesuai dengan pemenuhan tujuan personal.

C. Tokoh-Tokoh Aliran Filsafat Eksistensialisme
1. Karl Jaspers
          Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri dan memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada jatidirinya kembali.  Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
2. Soren Aabye Kiekeegaard
          Mengedepankan teori bahwa eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang kaku dan statis tetapi senantiasa terbentuk, manusia juga senantiasa melakukan upaya dari sebuah hal yang sifatnya hanya sebagai spekulasi menuju suatu yang nyata dan pasti, seperti upaya mereka untuk menggapai cita-citanya pada masa depan.
3. Jean Paul Sartre
          “Manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri”. Itu adalah salah satu statement dan mungkin bernilai teori yang terkenal darinya.
4. Friedrich Nietzsche
          Menurutnya manusia yang teruji adalah manusia yang cenderung melalui jalan yang terjal dalam hidupnya dan definisi dari aliran eksistensialisme menurutnya adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super dan yang mempunyai mental majikan bukan mental budak supaya manusia tidak diam dengan kenyamanan saja.
5. Martin Heidegger
          Inti pemikirannya adalah memusatkan semua hal kepada manusia dan mengembalikan semua masalah apapun ujung-ujungnya adalah manusia sebagai subjek atau objek dari masalah tersebut.
D. Interpretasi
          Penulis mencoba membuat kesimpulan dari pembahasan diatas yakni: aliran eksistensialisme adalah aliran yang cenderung memandang manusia sebagai objek hidup yang memiliki taraf yang tinggi, dan keberadaan dari manusia ditentukan dengan dirinya sendiri bukan melalui rekan atau kerabatnya, serta berpandangan bahwa manusia adalah satu-satunya mahluk hidup yang dapat eksis dengan apapun disekelilingnya karena manusia disini dikaruniai sebuah organ urgen yang tidak dimiliki oleh mahluk hidup lainnya sehingga pada akhirnya mereka dapat menempatkan dirinya sesuai dengan keadaan dan selalu eksis dalam setiap hidupnya dengan organ yang luar biasa hebat tersebut.

SOREN ABBY KIERKEGAARD (1813-1855): BAPAK FILSAFAT EKSISTENSIALISME

          Sebuah ungkapan menarik untuk melihat tife pemikiran seorang eksistensialis adalah Kierkegard. Ia menyatakan, mengapa saya ada? Apa tujuan hidup saya? Apa makna kehidupan yang ada pada saya ini? Itulah sejumlah pertanyaan yang berkenaan dengan keberadaan diri. Dalam filsafat, pertanyan tersebut merupakan pertanyaan yang bersifat eksistensialisme. Smith dan Raeper menyebutkan bahwa filsafat eksistensialisme ini merupakan filsafat para pemberontak. Eksistensialisme dipusatkan pada diri individu dan masalah-masalah eksistensi. Kata-kata kunci yang sering kembali dalam tulisan-tulisan para eksistensialis ialah kebebasan, individualitas, tanggung jawab, dan pilihan. Oleh karena itu, filsafat ini cenderung bersifat subjektif; menyangkut saya dan bagaimana saya hidup.
Ada tiga filsuf eksistensialis yang terbesar, yaitu:
-Soren Kierkegaard [1813- 1855],
-Martin Heidegger [1889-1976], dan
-Jean Paul Sartre [1905-1980].
          Dari ketiganya, Kierkegaard dianggap sebagai pelopor filsafat ini, bapak eksistensialisme. Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Michael Pedersen Kierkegaard, merupakan pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan makanan. Ia menikahi Ane Sorendatter Lund, seorang pembantu yang tidak pernah memperoleh pendidikan; istri pertamanya meninggal dua tahun setelah pernikahan mereka.
          Setelah mengenyam pendidikan di sekolah putra yang prestisius di Borgerdydskolen, ia melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen. Di sini pria yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini mempelajari filsafat dan teologi. Sejumlah tokoh seperti F.C. Sibbern, Poul Martin Moller, dan H.L. Martensen menjadi gurunya di sana. Ada banyak tragedi yang di sekitar pria yang juga menguasai bahasa Latin, bahasa Yunani, sejarah, matematika, sains, dan filsafat ini. Tragedi pertama menyangkut ayahnya yang merasa tidak pernah lepas dari dosa mengutuk Tuhan. Hidupnya juga menyimpan skandal dengan pembantu rumah tangganya yang kemudian menjadi istri keduanya. Lalu, saudara-saudara Kierkegaard banyak yang meninggal ketika masih begitu muda. Dua kakaknya, satu lelaki dan satu perempuan, meninggal sebelum ia berusia sembilan tahun. Tiga kakaknya yang lain, dua perempuan dan satu lelaki, meninggal sebelum ia berusia 21 tahun. Kakak tertuanya, Peter, akhirnya memilih hidup sebagai seorang uskup. Kierkegaard sendiri tidak pernah menikah seumur hidupnya. Ia membatalkan pertunangannya dengan Regina Olsen.
          Meski demikian, talentanya yang luar biasa sudah muncul ketika menuliskan Journals, salah satu karya terbaiknya yang pernah diterbitkan. Ia mulai menulis karya tersebut ketika berusia dua puluh tahun. Mungkin bakatnya mulai terasah ketika turut mendengarkan diskusi mengenai filsafat Jerman yang sering dilakukan ayahnya di rumah mereka. Salah satu karya Kierkegaard yang tajam dihasilkannya menjelang akhir hayatnya. Peter Vardy, seorang dosen Filsafat Agama di Heythrope College, University of London, menganggap tulisan-tulisan Kierkegaard yang dikumpulkan dalam buku Attack upon Christendom merupakan kecaman paling keras yang pernah ditulis. Setidaknya, sepuluh artikel termuat di dalamnya sebagai kritik terhadap gereja yang dianggap Kierkegaard sudah melenceng dari hakikat gereja yang semestinya.
          Periode kedua dalam kepenulisannya lebih ditekankan pada kekristenan. Pada masa ini, tulisan-tulisannya banyak ditujukan pada gereja. Karya-karya yang ia hasilkan pada masa ini ialah Works of Love (1847), Christian Discourses (1848), dan Training in Christianity (1850). Sementara itu, Journal terus ia tulis sampai akhir hayatnya. Berikut ringkasan sejumlah karyanya:         
1.      Either/Or (Enten/Eller) – 1843
          Buku ini terdiri dari dua bagian yang mempertentangkan pandangan hidup yang estetis dengan yang etis. Karya yang panjang ini menampilkan catatan-catatan pribadi, esai-esai dan percobaan-percobaan psikologis untuk menggoda ahli estetika serta serangkaian surat yang ditulis seorang hakim kepada ahli estetika yang menyanjung sisi positif pernikahan dan kehidupan etis. Struktur dialektis karya ini tidak memberikan penyelesaian, atau “sintesis” dalam konsep Hegelian, untuk dua pandangan hidup yang bertentangan. Karya ini berfungsi baik sebagai kritik maupun parodi terhadap filsafat Hegelian.
2.      Fear and Trembling (Frygt og Baeven) – 1844
          Mengambil contoh pegorbanan Ishak oleh Abraham untuk menyelidiki penundaan etika teleologi (ajaran atau kepercayaan bahwa segala tindakan disebabkan karena adanya tujuan yang ingin dicapai). Hal ini merupakan kebutuhan akan ketaatan mutlak terhadap perintah Allah meskipun perintah itu tidak masuk akal atau tidak bermoral.
3.      Philosophical Fragments (Philosophiske Smuler) – 1844
          Melalui karya ini, Kierkegaard memerinci elemen subjektif yang diperlukan dalam mendapatkan pengetahuan dengan menelusuri doktrin inkarnasi dan apakah kebahagiaan abadi dapat didasarkan pada peristiwa sejarah.
4.      Philosophical Fragments (Philosophiske Smuler) – 1844
          Melalui karya ini, Kierkegaard memerinci elemen subjektif yang diperlukan dalam mendapatkan pengetahuan dengan menelusuri doktrin inkarnasi dan apakah kebahagiaan abadi dapat didasarkan pada peristiwa sejarah.
5.      Concluding Unscientific Postscript (Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift) – 1845
          Sambungan Philosophical Fragments yang berpendapat bahwa semua kebenaran harus secara subjektif cocok dan tidak ada jaminan adanya pengetahuan objektif. Kierkegaard mengangkat Kristus, tokoh yang penuh paradoks, yang adalah manusia dan Allah. Ia menekankan bahwa hal ini tidak dapat dipahami secara logis (sebagaimana dalam sintesa Hegel. Seseorang hanya bisa memiliki sebuah komitmen yang subjektif yang sungguh-sungguh terhadap kepercayaan ini atau kepercayaan lain.
6.      Works Of Love (Kjerlighedens Gjerninger) – 1846
          Sebuah esei yang meneliti perintah “Kasihilah sesamamu seperti kau mengasihi dirimu sendiri’. Karya itu menekankan kualitas cinta yang tak terlukiskan, meneliti siapakah ‘sesama’ dan bagaimana cinta sejati (tidak egois) hanya mungkin didapat jika kita mengenal Tuhan dan menjadi wujud alami iman.
7.      Practice in Christianity (Indøvelse I Christendom) – 1850
          Karya ini merupakan serangan yang murni dilancarkan Kierkegaard, ditujukan kepada gereja mapan yang mencoba meminimalisir serangan dalam rangka melayani dunia. Melalui karya ini, ia hendak memperkenalkan kembali kekristenan PB kepada dunia Kristen.
8.      The Changelessness of God: A Discourse (Guds Uforanderlighed. En Tale) – 1855
          Karya yang didasarkan pada khotbah tentang Yakobus 1:17 ini memuji ketetapan Tuhan dan mendorong pembaca untuk mengikut Dia. Tapi pembaca juga diingatkan untuk berhati-hati dalam bertindak karena mereka akan diadili oleh Tuhan dengan ketetapan tak tergoyahkan yang sama.
          Meskipun melancarkan kritik yang sangat keras terhadap gereja, ia tetap berkunjung ke gereja. Tidak untuk menghadiri ibadah. Ia hanya duduk di luar gereja dengan tenang pada hari Minggu. Namun, ia tetap memberikan perpuluhan kepada gereja. Ketika ia hendak pulang ke rumah dengan uang terakhir yang dimilikinya, Kierkegaard terjatuh tak sadarkan diri. Ia dibawa ke rumah sakit dan meninggal lima minggu kemudian. Ia meninggal pada tanggal 11 November 1855. Pemakaman Kierkegaard tidak dihadiri oleh pendeta manapun. Hanya dua orang sepenting Peter, saudara laki-lakinya yang telah menjadi uskup, dan dekan dari sebuah katedral. Itulah perjalanan seorang pemikir yang eksistensialis. Kini pemikirannya mengilhami para pemikir modern untuk mengembangkan ajaran Neo-Eksistensialisme.
Kesimpulan:
          Gerakan kebangkitan filsafat dalam diskursus filsafat adalah konflik antara filsafat dan agama. Bukti konflik itu salah satunya dapat dilihat dalam ajaran filsafat eksistensialisme. Selama berabad-abad, eksistensialisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Neo-Eksistensialisme dna Neo-Realisme dan Neo-Positivisme. Eksistensialisme, telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme dan Imperialisme Barat, disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, eksistensialisme dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia yakni standar kebenaran berfikir dan berbuat bagi manusia.
          Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menelaah lebih kritis ajaran filsafat eksistensialisme sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) sebelumnya. Sebaiknya ia pun dijadikan alat untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari kapitalisme global yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. Mengambil eksistensialisme murni berarti menghindari agama dan Tuhan sebagai pedoman hidup manusia.
          Seperti halnya Kierkegaard, inti dari posisi pemikiran para teolog eksistensialis yang terbawa pada arus pascamodernisme adalah pada umumnya mereka menolak adanya suatu klaim atau prinsip kebenaran yang sifatnya universal. Penekanan kebenaran yang universal dan objektif menurut mereka bukan hanya tidak masuk di akal tetapi juga berbahaya bagi perkembangan teologi. Pendirian seperti ini memperlihatkan bahwa teolog pascamodernisme bahkan lebih eksistensialis dari eksistensialisme yang dipelopori oleh Kierkegaard. Dengan demikian semangat eksistensialisme dan pascamodernisme adalah semangat “saudara sekandung” manusia zaman sekarang yang cenderung menolak kebenaran yang objektif.

Daftar Pustaka :
Tatang Syaripudin, Kurniasih, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Percikan Ilmu, 2008)
Tafsir, Pengantar Filsafat Umum (Jakarta: Rajawali Press, 1992).
Pengantar Filsafat Ilmu (Bandung: Gunung Djati Press, 2000).
http://biokristi.sabda.org/soren_kierkegaard_filsuf_eksistensialis_yang_menantang_gereja.
Colin brown, Philosophy and the Christian Faith (London: Tyndale, 1968) 128.
Charles Colson dan Nancy Pearcey, “Poster Boy for Postmodernism,” Christianity Today 42/13 (November 16, 1998) 120.
F. H. Klooster, “Revelation and Scripture in existentialist Theology” dalam Challenges to Inerrancy: A Theological Response (ed. G. R. Lewis & B. Demarest; Chicago; Moody, 1984) 178-179.
Jacques Derrida, Richard Rorty, Michael Foucalt, Stanley Fish, David Tracy, George Lindbeck of Postmodernism: An Evangelical Engagement [ed. D. S. Dockery; Wheaton: BridgePoint, 1995] 35).
Jujun Surijasumantri, Pengantar Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali, 1988).
Juhaya S. Praja, Filsafat Ilmu (Bandung: Unisba Press, 1995).
K. Bertens, Metodologi Memahami Filsafat (Yogyakarta: Kasisius, 1994).

Lili M. Rasjidi, Aliran-aliran Filsafat (Bandung: 1992)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar