EKSISTENSIALISME
Istilah eksistensi berasal
dari dua suku kata yaitu eks yang
berate ke luar dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan. Jadi
secara etimologis eksistensi adalah cara manusia ber-ada (meng-ada) di dunia.
Eksistensi sebagai cara ber-ada-nya manusia sebagai subjek atau pribadi yang
sadar diri dan meiliki penyadaran diri, yang ke luar dari dalam dirinya
sendiri. Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat
yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan
metodologi fenomenologi atau cara manusia berada.tekanan perhatian dan pikiran
aliran ini adalah berkenaan dengan penyadaran manusia melalui pengalaman
subjektifnya. Keunikan dan kedudukan manusia sebagai pribadi (personal) adalah
titik tekan dari eksistensialisme.
Eksistensialisme muncul
sebagai aliran filsafat diabad kedua puluh. Aliran ini dirintis oleh filsuf
asal Denmark bernama Soren Aabye Kierkegard (1813-1855) dan dikembangkan
oleh seorang filsuf asal Jerman, Martin Heidegger. Aliran eksistensialisme
merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi
fenomenologi yang dikembangkan oleh Hussel. Ada banyak tokoh filsuf aliran
eksistensialisme antara lain, Nicholas Berdyaev (1874-1948),Arbert Camus
(1913-1960),Karl Jaspers (1883-1969),Gabriel Marcel (1889-1973),Jean Paul
Sartre (1905-1980) dan lain-lain. Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli
filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab
pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut
mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum
tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret. Pandangan ini muncul
ketika manusia mengalami krisis eksistensinya,
yaitu ketika individu melupakan sifat
individualitasnya. Aliran ini muncul dan berkembang sebagai suatu reaksi dan
kritik kerena ketidaksetujuaan dari beberapa sifat dari filsafat yang muncul
sebelumnya, dan karena ketidaksetujuan terhadap
keadaan masyarakat modern. Sebagai contoh, Kierkegaard prihatin terhadap
semakin terdesaknya manusia sebagai subjek dengan harkat pribadinya oleh proses
permasalahan yang semakin menjadi
sejalan dengan proses industrialisasi
dan kemajuan teknologi. Dengan kondisi
demikian, maka nilai personal akan tergerus dengan seiring perkembangan zaman,
segala sesuatunya akan mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan kepenting
umum. Pendapat-pendapat umum akan lebih didengar dari pada pendapat pribadi.
Dalam hal ini Kierkegaard mengungkapkan bahwa peran pers sangat besar
pengaruhnya.
Setali tiga uang dengan
Kierkegaard, Nicholas Berdyaev berpendapat bahwa kemajuan teknologi memiliki
andil besar terhadap permasalahan serta berjangkitnya penularan mental yang
membuat orang-orang memiliki keseragaman sikap dan pendapat dan dengan keadaan
seperti ini maka nilai originalitas pribadi semakin krisis dan bahkan bisa
hilang. Padahal eksistensi itu akan bermakna sebagai keberadaan secara individu
atau personal. Sebagai individu, manusia
merupakan ketunggalan dan tidak bisa ditukar, karena individu merupakan subjek
dengan ciri khasnya masing-masing.
Jaspers berpendapat bahwa
kemajuan teknologi akan memudarkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan manusia. Jasperspun merasa prihatin dengan
permasalahan dan penyamarataan yang melanda manusia. Matrialisme memudarkan
spiritualisme. Bahkan Jaspers meramalkan
ada kecenderungan yang manghanyutkan manusia di zaman modern. Akan terjadi
reduksi terhadap manusia sebagai keutuhan
dan akan semakin terpenjaralah keutuhannya yang bebas.Jaspers bukan
satu-satunya tokoh yang prihatin terhadap reduksi yang terjadi antara manusia
dan mesin. Yang menggejala sebagai proses detotalisasi (tidak diindahkannya
manusia sebagai suatu keutuhan),dehumanisasi (diabaikannya kodrat
kemanusiaan),despiritualisasi (tak diacuhkannya nilai spiritual dalam kehidupan
sehari-hari), dan depersonalisasi (dibekukanny aktualisasi diri manusia sebagai
pribadi) kelak akan menimbulkan kebingungungan atas eksistensinya sebagai
manusia. Jaspers mengatakan bahwa penyelesaian dari masalah-masalah ini adalah
kembali kepada kehendak manusia itu sendiri.
Memang pada dasarnya
eksistensialisme mengkritik kemajuan teknologi yang mereduksi makna eksistensi
manusia. Namun, tidak ada satupun filsuf yang menentang laju perkembangan
teknologi, tetapi para filsuf menyadarkan kita untuk waspadai dampak
dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi. Bagaimana cepatnya
laju kemajuan teknologi, nilai-nilai manusiawi harus tetap dipertahankan. Para
filsuf menyerukan bahwa manusia harus tetap menjaga eksistensinya sebagai
individu yang otentik.
Dalam filsafat dibedakan
antaraesensia daneksistensia. Esensia membuat benda, tumbuhan, binatang dan
manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh
esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi pohon mangga. Harimau
menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan esensia saja, segala
yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi, pohon mangga,
harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh
tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang
ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia kursi
dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang.
Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti,
dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia,
segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia
meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil,
tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi
bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya,
segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan
A. Sejarah Kemunculan Aliran Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan suatu
aliran filsafat yang lahir karena latar belakang ketidakpuasan beberapa filusuf
yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani ketika itu seperti protes
terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang
manusia. Intinya adalah Penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan
terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa
tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal dan primitif
yang sangat dari akademik. Salah satu latar belakang dan alasan lahirnya aliran
ini juga karena sadarnya beberapa golongan filusuf yang menyadari bahwa manusia
mulai terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat mereka kehilangan
hakekat hidupnya sebagai manusia atau mahluk yang bereksistensi dengan alam dan
lingkungan sekitar bukan hanya dengan semua serba instant.
B. Pengertian Sederhana Aliran Eksistensialisme
Dari
sudut etimologi eksistensi berasal dari kata “eks” yang berarti diluar dan “sistensi” yang
berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan
sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya sekaligus keluar dari dirinya.
Adapun
eksistensialisme menurut pengertian terminologinya adalah suatu aliran dalam
ilmu filsafat yang menekankan segala sesuatu terhadap manusia dan segala
sesuatu yang mengiringinya, dan dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk
yang harus bereksistensi atau aktif dengan sesuatu yang ada disekelilingnya,
serta mengkaji cara kerja manusia ketika berada di alam dunia ini dengan
kesadaran. Disini dapat disimpulkan bahwa pusat renungan atau kajian dari
eksistensialisme adalah manusia konkret.
Selanjutnya adalah ciri-ciri dari aliran
eksistensialisme yang terdiri dari 2 ciri, yaitu yang pertama adalah selalu
melihat cara manusia berada dan eksistensi sendiri disini diartikan secara
dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, dan yang ke-dua adalah manusia
dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai serta didasari
dari pengalaman yang konkret atau empiris yang kita kenal.
FILSAFAT UMUM EKSISTENSIALISME
a. METAFISIKA
Martin
Heidegger menyebut realistas fisik dan
material sebagai “yang berada” (seiende), yang artinya realitas yang bersifat fisik atau benda-benda terletak begitu saja (voourhanden) di depan manusia, tanpa
adanya hubungan dengan manusia itu sendiri. Realitas ini tidak memiliki
kesadaran dan penyadaran diri; dan realitas ini hanya akan berarti jika
dihubungkan dengan manusia. Jaen Paul Sartre menyebutkan bahwa realitas
fisikatau material tersebut yang “berada
dalam diri”. Menurut Sartre, realitas fisik tidak memiliki hubungan dengan
keberadaannya. Sebagai contoh sebuah handphone
tidak memiliki hubungan dengan keberadaannya sebagai handphone. Handphone
tidak bertanggung jawab atas fakta bahwa ia adalah sebuah handphone. Atau bisa dengan
contoh-contoh yang lain.
Semua
yang berada dalam diri bersifat tidak aktif,tetapi juga tidak pasif. Dengan
kata lain, segala sesuatu yang ada dalam diri akan bermakna ketika diberikan
makna oleh manusia itu sendiri.
Terdapat
perbedaan dengan realitas fisik (material), Tuhan menciptakan manusia dalam
arti bahwa manusia bertanggung jawab atas eksistensinya. Manusia sadar diri dan
memiliki penyadaran diri.Dasein
(berada di sana, di tempat) biasa
disebut juga sebagai eksistensi.
Menurut
pada kaum eksistensialisme, keberadaan manusia di dunia ini karena “terlempar”dan “terdampar”, tahu-tahu sudah ada di dunia. Keberadaan manusia di
dunia bukan atas kemauannya, meliankan inilah sebuah realitas dan nasib
manusia. Memang awalnya keberadaan manusia di dunia ini masih belum jelas (absurd) hanya saja seiring berjalannya
waktu manusia dihadapkan pada kenyatan bahwa manusia harus terus
bereksistensi. Dalam menjalankan
dan mempertahankan eksistensinya,
manusia selalu dihadapkan pada keharusan dan pilihan, tetapi manusia memiliki
kebebasan untuk menentukan pilihannya. Disamping kebebasan, manusiapun
disandingkan dengan tanggung jawab atas kebebasan yang dimiliki. Dalam
menjalani perannya sebagai manusia, seorang individu akan terus memujudkan apa
saja yang telah direncanakan, inilah yang disebut manusia meg-ada-kan dirinya
sendiri. Dalam mewujudkan setiap
rencananya, manusia memiliki kecemasan (Angst)
terhadap dirinya sendiri. Biasanya
perasaan-perasaan seperti ini akan muncul tiba-tiba , akan muncul perasaan
kesepian dan segala sesuatunya terasa tiada bermakna. Menurut Jean Paul Sartre,
kecemasan ini diakibatkan oleh kebebasan manusia itu sendiri. Sartre
menyarankan manusia untuk hidup dengan melihaat pekerjaan kita, kepada
tugas-tugas hidup kita bersama, kepada masa depan yang sedang kita bangun
(Hadiwijono,1992). Artinya kita hidup untuk
masa depan kita dan menjalankan apa yang sedang kita alami sekarang,
bukan untuk masa lalu yang telah kita lalui dan tidak mungkin untuk kembali.
Lain
Sartre lain pula Kierkegaard, ia menyatakan bahwa penyebab kecemasan-kecemasan
itu adalah perjalanan pencarian makna eksistensi manusia selalu menyibukan
manusia, dan setiap usaha-usaha itu berakhir di tepi jurang yang dalam.
Maksudnya adalah manusia tidak pernah menemukan makna hidupnya dengan
perjalananperjalanan itu. Tetapi manusia harus tetap menjalani
eksistensinya.Dengan demikian manusia tidak pernah berhenti menetukan pilihan.
Mengenai kecemasan-kecemasan itu, Kierkegaard mengatakan bahwa manusia tidak
memiliki pilihan lain selain berpaling kepada Tuhan. Menurutnya eksistensi
tanpa kepercayaan kepada Tuhan menjadi keberadaan tanpa makna. Begitupun dengan Berdyaev yang menyatakan
bahwa hubungan kepada Tuhan adalah satu-satunya hubungan yang meniadakan
kemerdekaan manusia untuk tampil dengan kesejatian pribadinya (personal authenticity). Menurut
Berdyaev tanpa adanya Tuhan sebagai mitra dialog, manusia akan merasakan
kehampaan makna eksistensi dan akan menimbulkan ketidakpastian serta kecemasan
belaka (Fuad Hasan,1996).
Dapat
disimpulkan bahwa manusia ber-ada di dunia fana ini bukan karena pilihannya,
jadi pada dasarnya kehadiran manusia di alam fana ini adalah tidak masuk akal (absurd).
Yang terpenting adalah manusia melaksankan kehidupan ini secara
otentik, yaitu dengan bebas memilih untuk pribadinya dengan tanggung jawab yang
mengiringi atas setiap kebebasan. Dalam perkembangan eksistensialisme
mendahului esensi : individu ada, dan selanjutnya menjadi.
b. EPISTEMOLOGI
Pengalaman
dalam hidup manusia adalah sebagai media pembelajaran, dengan pengalaman
manusia menjadi banyak mengetahui. Lalu apakah sama pengertian pengalaman
menurut para filsuf eksistensialisme dengan aliran yang lain seperti empirisme
atau realism ?
Usut
punya usut ternyata frame mengenai
pengalaman antara filsuf eksistensialisme berbeda dengan filsusf aliran
lainnya. Bagi para filsuf eksistensialisme, pengalaman adalah pengalaman yang
terhayati oleh individu sebagai subjek
atau pribadi.
Seperti
kita tahu dalam filsafat kebenaran tidaklah mutlak, kebenaran bersifat relatif
untuk setiap pertimbangan individu. Untuk itu manusia harus menentukan mana
yang benar dan mana yang penting untuk hidupnya. Para filsuf eksistensialisme
lebih cenderung bersikap skeptis terhadap pengetahuan yang bersifat objektif,
tetapi mereka mengakui adanya kemungkinan manusia untuk dapat mencapai
kebenaran.
c. AKSIOLOGI
Seperti
halnya kebenaran, para filsuf menyakini bahwa nilai bersifat tidak absolut
sebab nilai ditentukan dari luar. Disinilah peran kebebasan memilih setiap
individu perseorangan berperan. Untuk itu terdapat kebebasan pada manusia untuk
mengikuti suatu nilai norma pada masyarakat. Namun, meskipun demikian dalam
masyarakat tentulah terdapat standar sebagai titik tolak yang bersifat wajib untuk diikuti.
IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN
a.
Tujuan Pendidikan
Tujuan
utama pendidikan menurut para filsuf Eksistensialisme adalah untuk
membimbing individu ke dalam suatu penyadaran diri dan mengembangkan (to
promote) komitmen yang berhasil mengenai sesuatu yang penting dan bermakna bagi eksistensinya.
Tujuan
khusus pendidikan menurut para filsuf Eksistensialisme adalah untuk:
1. mengembangkan penyadaran diri
secara individual
2. menyediakan kesempatan-kesempatan
kepada individu untuk bebas menentukan pilihan-pilihan etis
3. mendorong pengembangan pengetahuan diri
(self knowledge)
4. mengembangkan rasa tanggung jawab
diri pribadi (self responsibility)
5. membangun rasa komitmen individual
b.
Kurikulum Pendidikan
1.
suatu kurikulum aktivitas
2. minat peserta didik sebagai dasar
perencanaan aktivitas
3. kebebasan yang penuh dari peserta
didik untuk belajar secara individual maupun
secara kelompok
4. kurikulum yang didasarkan atas
kebutuhn-kebutuhn yang dekat
c.
Metode Pendidikan
Setiap individu harus bebas
mengembangkan tujuan-tujuannya dan diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan
tersebut melalui kegiatan belajar mereka sendiri. Masalah-masalah individual
peserta didik harus direfleksikan oleh pendidik (guru) sehingga dengan demikian
menimbulkan pemahaman peserta didik mengenai hakekat masalahnya sendiri.
d.
Peranan Pendidik dan Peserta Didik
Peranan Pendidik adalah sebagai
pembimbing yang demoratis, untuk melindungi dan menjaga kebebasan akademik.
Peranan Peserta Didik adalah memilih
dan bertanggung jawab atas pilihannya sesuai dengan pemenuhan tujuan personal.
C. Tokoh-Tokoh
Aliran Filsafat Eksistensialisme
1. Karl
Jaspers
Eksistensialismenya ditandai dengan
pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi
pengetahuan obyektif sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri dan memandang
filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada jatidirinya kembali. Ada
dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
2. Soren
Aabye Kiekeegaard
Mengedepankan teori bahwa eksistensi
manusia bukanlah sesuatu yang kaku dan statis tetapi senantiasa terbentuk,
manusia juga senantiasa melakukan upaya dari sebuah hal yang sifatnya hanya
sebagai spekulasi menuju suatu yang nyata dan pasti, seperti upaya mereka untuk
menggapai cita-citanya pada masa depan.
3. Jean
Paul Sartre
“Manusia yang bereksistensi adalah
makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri”. Itu
adalah salah satu statement dan mungkin bernilai teori yang terkenal darinya.
4. Friedrich
Nietzsche
Menurutnya manusia yang teruji adalah
manusia yang cenderung melalui jalan yang terjal dalam hidupnya dan definisi
dari aliran eksistensialisme menurutnya adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi
manusia super dan yang mempunyai mental majikan bukan mental budak supaya
manusia tidak diam dengan kenyamanan saja.
5. Martin
Heidegger
Inti pemikirannya adalah memusatkan
semua hal kepada manusia dan mengembalikan semua masalah apapun ujung-ujungnya
adalah manusia sebagai subjek atau objek dari masalah tersebut.
D. Interpretasi
Penulis
mencoba membuat kesimpulan dari pembahasan diatas yakni: aliran
eksistensialisme adalah aliran yang cenderung memandang manusia sebagai objek
hidup yang memiliki taraf yang tinggi, dan keberadaan dari manusia ditentukan
dengan dirinya sendiri bukan melalui rekan atau kerabatnya, serta berpandangan
bahwa manusia adalah satu-satunya mahluk hidup yang dapat eksis dengan apapun
disekelilingnya karena manusia disini dikaruniai sebuah organ urgen yang tidak
dimiliki oleh mahluk hidup lainnya sehingga pada akhirnya mereka dapat
menempatkan dirinya sesuai dengan keadaan dan selalu eksis dalam setiap
hidupnya dengan organ yang luar biasa hebat tersebut.
SOREN ABBY KIERKEGAARD (1813-1855): BAPAK FILSAFAT EKSISTENSIALISME
Sebuah ungkapan menarik untuk melihat tife pemikiran seorang eksistensialis adalah Kierkegard. Ia menyatakan, mengapa saya ada? Apa tujuan hidup saya? Apa makna kehidupan yang ada pada saya ini? Itulah sejumlah pertanyaan yang berkenaan dengan keberadaan diri. Dalam filsafat, pertanyan tersebut merupakan pertanyaan yang bersifat eksistensialisme. Smith dan Raeper menyebutkan bahwa filsafat eksistensialisme ini merupakan filsafat para pemberontak. Eksistensialisme dipusatkan pada diri individu dan masalah-masalah eksistensi. Kata-kata kunci yang sering kembali dalam tulisan-tulisan para eksistensialis ialah kebebasan, individualitas, tanggung jawab, dan pilihan. Oleh karena itu, filsafat ini cenderung bersifat subjektif; menyangkut saya dan bagaimana saya hidup.
SOREN ABBY KIERKEGAARD (1813-1855): BAPAK FILSAFAT EKSISTENSIALISME
Sebuah ungkapan menarik untuk melihat tife pemikiran seorang eksistensialis adalah Kierkegard. Ia menyatakan, mengapa saya ada? Apa tujuan hidup saya? Apa makna kehidupan yang ada pada saya ini? Itulah sejumlah pertanyaan yang berkenaan dengan keberadaan diri. Dalam filsafat, pertanyan tersebut merupakan pertanyaan yang bersifat eksistensialisme. Smith dan Raeper menyebutkan bahwa filsafat eksistensialisme ini merupakan filsafat para pemberontak. Eksistensialisme dipusatkan pada diri individu dan masalah-masalah eksistensi. Kata-kata kunci yang sering kembali dalam tulisan-tulisan para eksistensialis ialah kebebasan, individualitas, tanggung jawab, dan pilihan. Oleh karena itu, filsafat ini cenderung bersifat subjektif; menyangkut saya dan bagaimana saya hidup.
Ada tiga filsuf eksistensialis yang terbesar, yaitu:
-Soren Kierkegaard [1813- 1855],
-Martin Heidegger [1889-1976], dan
-Jean Paul Sartre [1905-1980].
-Martin Heidegger [1889-1976], dan
-Jean Paul Sartre [1905-1980].
Dari
ketiganya, Kierkegaard dianggap sebagai pelopor filsafat ini, bapak
eksistensialisme. Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813,
sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Michael Pedersen
Kierkegaard, merupakan pedagang grosir yang menjual kain, pakaian, dan makanan.
Ia menikahi Ane Sorendatter Lund, seorang pembantu yang tidak pernah memperoleh
pendidikan; istri pertamanya meninggal dua tahun setelah pernikahan mereka.
Setelah
mengenyam pendidikan di sekolah putra yang prestisius di Borgerdydskolen, ia
melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Kopenhagen. Di sini pria yang
bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini mempelajari filsafat dan teologi.
Sejumlah tokoh seperti F.C. Sibbern, Poul Martin Moller, dan H.L. Martensen
menjadi gurunya di sana. Ada banyak tragedi yang di sekitar pria yang juga
menguasai bahasa Latin, bahasa Yunani, sejarah, matematika, sains, dan filsafat
ini. Tragedi pertama menyangkut ayahnya yang merasa tidak pernah lepas dari
dosa mengutuk Tuhan. Hidupnya juga menyimpan skandal dengan pembantu rumah
tangganya yang kemudian menjadi istri keduanya. Lalu, saudara-saudara
Kierkegaard banyak yang meninggal ketika masih begitu muda. Dua kakaknya, satu
lelaki dan satu perempuan, meninggal sebelum ia berusia sembilan tahun. Tiga
kakaknya yang lain, dua perempuan dan satu lelaki, meninggal sebelum ia berusia
21 tahun. Kakak tertuanya, Peter, akhirnya memilih hidup sebagai seorang uskup.
Kierkegaard sendiri tidak pernah menikah seumur hidupnya. Ia membatalkan
pertunangannya dengan Regina Olsen.
Meski
demikian, talentanya yang luar biasa sudah muncul ketika menuliskan Journals,
salah satu karya terbaiknya yang pernah diterbitkan. Ia mulai menulis karya
tersebut ketika berusia dua puluh tahun. Mungkin bakatnya mulai terasah ketika
turut mendengarkan diskusi mengenai filsafat Jerman yang sering dilakukan
ayahnya di rumah mereka. Salah satu karya Kierkegaard yang tajam dihasilkannya
menjelang akhir hayatnya. Peter Vardy, seorang dosen Filsafat Agama di
Heythrope College, University of London, menganggap tulisan-tulisan Kierkegaard
yang dikumpulkan dalam buku Attack upon Christendom merupakan kecaman paling
keras yang pernah ditulis. Setidaknya, sepuluh artikel termuat di dalamnya
sebagai kritik terhadap gereja yang dianggap Kierkegaard sudah melenceng dari
hakikat gereja yang semestinya.
Periode
kedua dalam kepenulisannya lebih ditekankan pada kekristenan. Pada masa ini,
tulisan-tulisannya banyak ditujukan pada gereja. Karya-karya yang ia hasilkan
pada masa ini ialah Works of Love (1847), Christian Discourses (1848), dan
Training in Christianity (1850). Sementara itu, Journal terus ia tulis sampai
akhir hayatnya. Berikut ringkasan sejumlah karyanya:
1.
Either/Or (Enten/Eller) – 1843
Buku
ini terdiri dari dua bagian yang mempertentangkan pandangan hidup yang estetis
dengan yang etis. Karya yang panjang ini menampilkan catatan-catatan pribadi,
esai-esai dan percobaan-percobaan psikologis untuk menggoda ahli estetika serta
serangkaian surat yang ditulis seorang hakim kepada ahli estetika yang
menyanjung sisi positif pernikahan dan kehidupan etis. Struktur dialektis karya
ini tidak memberikan penyelesaian, atau “sintesis” dalam konsep Hegelian, untuk
dua pandangan hidup yang bertentangan. Karya ini berfungsi baik sebagai kritik
maupun parodi terhadap filsafat Hegelian.
2.
Fear and Trembling (Frygt og Baeven) – 1844
Mengambil
contoh pegorbanan Ishak oleh Abraham untuk menyelidiki penundaan etika
teleologi (ajaran atau kepercayaan bahwa segala tindakan disebabkan karena adanya
tujuan yang ingin dicapai). Hal ini merupakan kebutuhan akan ketaatan mutlak
terhadap perintah Allah meskipun perintah itu tidak masuk akal atau tidak
bermoral.
3.
Philosophical Fragments (Philosophiske Smuler) – 1844
Melalui
karya ini, Kierkegaard memerinci elemen subjektif yang diperlukan dalam
mendapatkan pengetahuan dengan menelusuri doktrin inkarnasi dan apakah
kebahagiaan abadi dapat didasarkan pada peristiwa sejarah.
4.
Philosophical Fragments (Philosophiske Smuler) – 1844
Melalui
karya ini, Kierkegaard memerinci elemen subjektif yang diperlukan dalam
mendapatkan pengetahuan dengan menelusuri doktrin inkarnasi dan apakah
kebahagiaan abadi dapat didasarkan pada peristiwa sejarah.
5.
Concluding Unscientific Postscript (Afsluttende uvidenskabelig Efterskrift) –
1845
Sambungan
Philosophical Fragments yang berpendapat bahwa semua kebenaran harus secara
subjektif cocok dan tidak ada jaminan adanya pengetahuan objektif. Kierkegaard
mengangkat Kristus, tokoh yang penuh paradoks, yang adalah manusia dan Allah.
Ia menekankan bahwa hal ini tidak dapat dipahami secara logis (sebagaimana
dalam sintesa Hegel. Seseorang hanya bisa memiliki sebuah komitmen yang
subjektif yang sungguh-sungguh terhadap kepercayaan ini atau kepercayaan lain.
6.
Works Of Love (Kjerlighedens Gjerninger) – 1846
Sebuah
esei yang meneliti perintah “Kasihilah sesamamu seperti kau mengasihi dirimu
sendiri’. Karya itu menekankan kualitas cinta yang tak terlukiskan, meneliti
siapakah ‘sesama’ dan bagaimana cinta sejati (tidak egois) hanya mungkin
didapat jika kita mengenal Tuhan dan menjadi wujud alami iman.
7.
Practice in Christianity (Indøvelse I Christendom) – 1850
Karya
ini merupakan serangan yang murni dilancarkan Kierkegaard, ditujukan kepada
gereja mapan yang mencoba meminimalisir serangan dalam rangka melayani dunia.
Melalui karya ini, ia hendak memperkenalkan kembali kekristenan PB kepada dunia
Kristen.
8.
The Changelessness of God: A Discourse (Guds Uforanderlighed. En Tale) – 1855
Karya
yang didasarkan pada khotbah tentang Yakobus 1:17 ini memuji ketetapan Tuhan
dan mendorong pembaca untuk mengikut Dia. Tapi pembaca juga diingatkan untuk
berhati-hati dalam bertindak karena mereka akan diadili oleh Tuhan dengan
ketetapan tak tergoyahkan yang sama.
Meskipun
melancarkan kritik yang sangat keras terhadap gereja, ia tetap berkunjung ke
gereja. Tidak untuk menghadiri ibadah. Ia hanya duduk di luar gereja dengan
tenang pada hari Minggu. Namun, ia tetap memberikan perpuluhan kepada gereja.
Ketika ia hendak pulang ke rumah dengan uang terakhir yang dimilikinya,
Kierkegaard terjatuh tak sadarkan diri. Ia dibawa ke rumah sakit dan meninggal
lima minggu kemudian. Ia meninggal pada tanggal 11 November 1855. Pemakaman
Kierkegaard tidak dihadiri oleh pendeta manapun. Hanya dua orang sepenting
Peter, saudara laki-lakinya yang telah menjadi uskup, dan dekan dari sebuah
katedral. Itulah perjalanan seorang pemikir yang eksistensialis. Kini
pemikirannya mengilhami para pemikir modern untuk mengembangkan ajaran Neo-Eksistensialisme.
Kesimpulan:
Gerakan
kebangkitan filsafat dalam diskursus filsafat adalah konflik antara filsafat
dan agama. Bukti konflik itu salah satunya dapat dilihat dalam ajaran filsafat
eksistensialisme. Selama berabad-abad, eksistensialisme telah mempengaruhi
filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Neo-Eksistensialisme dna
Neo-Realisme dan Neo-Positivisme. Eksistensialisme, telah menjadi semacam ruh
yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme dan Imperialisme
Barat, disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama
maupun baru. Dalam konteks inilah, eksistensialisme dipandang berbahaya karena
telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia yakni standar
kebenaran berfikir dan berbuat bagi manusia.
Atas
dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat
mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menelaah lebih kritis
ajaran filsafat eksistensialisme sebagai landasan strategis untuk melakukan
dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) sebelumnya. Sebaiknya ia pun dijadikan
alat untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari
kapitalisme global yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan
penderitaan pedih bagi umat manusia. Mengambil eksistensialisme murni berarti
menghindari agama dan Tuhan sebagai pedoman hidup manusia.
Seperti
halnya Kierkegaard, inti dari posisi pemikiran para teolog eksistensialis yang
terbawa pada arus pascamodernisme adalah pada umumnya mereka menolak adanya suatu
klaim atau prinsip kebenaran yang sifatnya universal. Penekanan kebenaran yang
universal dan objektif menurut mereka bukan hanya tidak masuk di akal tetapi
juga berbahaya bagi perkembangan teologi. Pendirian seperti ini memperlihatkan
bahwa teolog pascamodernisme bahkan lebih eksistensialis dari eksistensialisme
yang dipelopori oleh Kierkegaard. Dengan demikian semangat eksistensialisme dan
pascamodernisme adalah semangat “saudara sekandung” manusia zaman sekarang yang
cenderung menolak kebenaran yang objektif.
Daftar
Pustaka :
Tatang Syaripudin, Kurniasih, Pengantar Filsafat
Pendidikan (Bandung: Percikan Ilmu, 2008)
Tafsir, Pengantar Filsafat Umum (Jakarta: Rajawali
Press, 1992).
Pengantar Filsafat Ilmu (Bandung: Gunung Djati Press,
2000).
http://biokristi.sabda.org/soren_kierkegaard_filsuf_eksistensialis_yang_menantang_gereja.
Colin brown, Philosophy and the Christian Faith
(London: Tyndale, 1968) 128.
Charles Colson dan Nancy Pearcey, “Poster Boy for
Postmodernism,” Christianity Today 42/13 (November 16, 1998) 120.
F. H. Klooster, “Revelation and Scripture in
existentialist Theology” dalam Challenges to Inerrancy: A Theological Response
(ed. G. R. Lewis & B. Demarest; Chicago; Moody, 1984) 178-179.
Jacques Derrida, Richard Rorty, Michael Foucalt, Stanley
Fish, David Tracy, George Lindbeck of Postmodernism: An Evangelical Engagement
[ed. D. S. Dockery; Wheaton: BridgePoint, 1995] 35).
Jujun Surijasumantri, Pengantar Filsafat Ilmu
(Jakarta: Rajawali, 1988).
Juhaya S. Praja, Filsafat Ilmu (Bandung: Unisba
Press, 1995).
K. Bertens, Metodologi Memahami Filsafat (Yogyakarta:
Kasisius, 1994).
Lili M. Rasjidi, Aliran-aliran Filsafat (Bandung:
1992)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar