MANUSIA DAN AGAMA
I. PENDAHULUAN
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang
memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur) potensi fujur
akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink,
naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa
aman. Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan
(melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda
dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat instinktif
atau implusif (seperti berzina, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau
menggunakan narkoba dan main judi).Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam
arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus
dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila
nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan
mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu
karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self control) dari pemuasan
hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
II. RUMUSAN MASALAH
Untuk mengkaji masalahan yang terdapat dalam
makalah “Manusia dan Agama” ini, kelompok kami akan membuat beberapa rumusan
masalah yang akan dibahas:
1. Pengertian manusia
2. Hakekat manusia
3. Pengertian agama
4. Karateristik agama
5. Hubungan agama dengan manusia dalam kehidupan
III. PEMBAHASAN
A. MANUSIA
1. Pengertian Manusia dalam Alqur’an
Quraish Shihab mengutip dari Alexis Carrel
dalam “Man the Unknown”, bahwa banyak kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui
hakikat manusia, karena keterbatasan-keterbatasan manusia sendiri.
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk
menunjuk pada pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan ann-nas.
Kata basyar disebut dalam
Al-Qur’an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian
manusia sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imran [3]:47) tegasnya memberi
pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan
seksual dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan
sampai 65 kali dalamAl-Qur’an yang dapat dikelompokkan dalam tiga
kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan khalifah sebagai
penanggung amanah (QS Al-Ahzab [3]:72), kedua al-insan dihubungankan
dengan predisposisi negatif dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah,
kikir (QS Al-Ma’arij [70]:19-21) dan ketiga al-insan dihubungkan
dengan proses penciptaannya yang terdiri dari unsur materi dan nonmateri (QS
Al-Hijr [15]:28-29). Semua konteks al-insan ini menunjuk pada
sifat-sifat manusia psikologis dan spiritual.
Kata an-nas yang disebut
sebanyak 240 dalam Al-Qur’an mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial
dengan karateristik tertentu misalnya mereka mengaku beriman padahal sebenarnya
tidak (QS Al-Baqarah [2]:8)[1]
Dari uraian ketiga makna untuk manusia
tersebut, dapatdisimpulkan bahwa manusia adalah mahkluk biologis,psikologis dan
sosial. Ketiganya harus dikembangkan dan diperhatikan hak maupun kewajibannya
secara seimbang dan selalu berada dalam hukum-hukum yang berlaku (sunnatullah).[2]
2. Tujuan Penciptaan Manusia
Kata “Abdi” berasal
dari kata bahasa Arab yang artinya memperhambakan diri, ibadah
(mengabdi/memperhambakan diri). Manusia diciptakan oleh Allah agar ia beribadah
kepada-Nya. Pengertian ibadah di sini tidak sesempit pengertian ibadah yang
dianut oleh masyarakat pada umumnya, yakni kalimat syahadat, shalat, puasa,
zakat, dan haji tetapi seluas pengertian yang dikandung oleh kata
memperhambakan dirinya sebagai hamba Allah. Berbuat sesuai dengan
kehendak dan kesukaann (ridha) Nya dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya.[3]
3. Fungsi dan Kedudukan Manusia
Sebagai orang yang
beriman kepada Allah, segala pernyataan yang keluar dari mulut tentunya dapat
tersingkap dengan jelas dan lugas lewat kitab suci Al-Qur’an sebagai satu kitab
yang abadi. Dia menjelaskan bahwa Allah menjadikan manusia itu agar ia menjadi
khalifah (pemimpin) di atas bumi ini dan kedudukan ini sudah tampak jelas pada
diri Adam (QS Al-An’am [6]:165 dan QS Al-Baqarah [2]:30) di sisi Allah
menganugerahkan kepada manusia segala yang ada dibumi, semula itu untuk
kepentingan manusia (ia menciptakan untukmu seluruh apa yang ada dibumi
ini. QS Al-Baqarah [2]:29). Maka sebagai tanggung jawab kekhalifahan
dan tugas utama umat manusia sebagai makhluk Allah, ia harus selalu
menghambakan dirinyakepada Allah Swt.
Untuk mempertahankan
posisi manusia tersebut, Tuhan menjadikan alam ini lebih rendah martabatnya
daripada manusia. Oleh karena itu, manusia diarahkan Tuhan agar
tidak tunduk kepada alam, gejala alam (QS Al-Jatsiah [45]:13) melainkan hanya
tunduk kepada-Nya saja sebagai hamba Allah (QS Al-Dzarait [51]:56). Manusia
harus menaklukanya, dengan kata lain manusia harus membebaskan dirinya dari
mensakralkan atau menuhankan alam.
Jadi dari uraian
tersebut diatas bisa ditarik kesimpulan secara singkat bahwa manusia hakikatnya
adalah makhluk biologis, psikolsogi dan sosial yang memiliki dua predikat
statusnya dihadapan Allah sebagai Hamba Allah (QS Al-Dzarait [51]:56) dan
fungsinya didunia sebagai khalifah Allah (QS Al-Baqarah
[2]:30); al-An’am [6]:165), mengantur alam dan mengelolanya untuk mencapai
kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat dengan tetap
tunduk dan patuh kepada sunnatullah.
B. HAKEKAT MANUSIA
Hakekat manusia adalah sebagai berikut :
1. Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan
hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
2. Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab
atas tingkah laku intelektual dan sosial.yang mampu mengarahkan dirinya ke
tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya serta mampu
menentukan nasibnya.
3. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus
berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
4. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya
dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat
dunia lebih baik untuk ditempati
5. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan
ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
6. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung
kemungkinan baik dan jahat.
7. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama
lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat
kemanusiaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
8. Makhluk yang berfikir. Berfikir adalah bertanya, bertanya berarti
mencari jawaban, mencari jwaban berarti mencari kebenaran.[4]
1. Hakikat Manusia Menurut Al-Qur’an
Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana
fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa.
Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang
melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya
diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada
hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia
sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan
spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan
dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di
dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat
aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah,
kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia
ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu . Sungguhpun demikian,
harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu
mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut
mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang
predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua
tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas
sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi
manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di
atas.
Gambaran al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat
manusia di atas megingatkan kita pada teorisuperego yang
dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang
pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas
jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu
mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai
tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga
penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk)
tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu
muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah)
berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.Sebaliknya, superego pun
sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala
instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang
beragama– bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa
memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja
ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali
adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat
manusia itu sendiri.
2. Hakekat Manusia (Menurut Islam - Mohammad
Sholihuddin, M.HI)
Manusia terdiri dari sekumpulan organ tubuh,
zat kimia, dan unsur biologis yang semuanya itu terdiri dari zat dan materi
Secara Spiritual manusia adalah roh atau jiwa. Secara Dualisme manusia terdiri
dari dua subtansi, yaitu jasmani dann ruhani (Jasad dan roh). Potensi dasar
manusia menurut jasmani ialah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang
bagaimanapun, di darat, laut maupun udara. Dan jika dari Ruhani, manusia
mempunyai akal dan hati untuk berfikir(kognitif), rasa(affektif), dan
perilaku(psikomotorik). Manusia diciptakan dengan untuk mempunyai
kecerdasan.[5]
C. AGAMA
1. Pengertian Agama
Kata agama dalam bahasa Indonesia berarti sama
dengan “din” dalam bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa Inggris “religion”.
Dari arti bahasa (etimologi) agama berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti
tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun. Sedangkan kata “din”
menyandang arti antara lain menguasai, memudahkan, patuh, utang, balasan atau
kebiasaan.
Secara
istilah (terminologi) agama, seperti ditulisoleh Anshari bahwa walaupun
agama, din, religion, masing-masing mempunyai arti etimologi
sendiri-sendiri, mempunyai riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri, namun dalam
pengertian teknis terminologis ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang
sama, yaitu:
a. Agama, din, religion adalah
satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas
adanya Yang Maha Mutlak diluar diri manusia;
b. Agama juga adalah sistem ritus (tata
peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Maha Mutlak tersebut.
c. Di samping merupakan satu sistema credo dan
satu sistema ritus, agama juga adalah satu sistem norma (tata
kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia sesama manusia dan
hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan
dan tata peribadatan termaktub diatas.
Menurut
Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan praktik yang dipersatukan yang
berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan
terhadap sesuatu yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa agama adalah
pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada
tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia
terhadap kekuatan gaib yang hebat.
Dengan
demikian, mengikuti pendapat Smith, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa
hingga saaat ini belum ada definisi agama yang benar dan dapat ditarima secara
universal.[6]
2. Syarat-Syarat Agama
a. Percaya dengan adanya Tuhan
b. Mempunyai kitab suci sebagai pandangan hidup umat-umatnya
c. Mempunyai tempat suci
d. Mempunyai Nabi atau orang suci sebagai panutan
e. Mempunyai hari raya keagamaan
3. Unsur-Unsur Agama
Menurut
Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
1. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa
ada keraguan lagi
2. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
3. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan
Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai
dengan ajaran agam.
4. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan
yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
5. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
4. Fungsi Agama
· Sumber pedoman hidup bagi individu maupun
kelompok
· Mengatur tata cara hubungan manusia dengan
Tuhan dan manusia dengan manusia.
· Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau
salah
· Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
· Pedoman perasaan keyakinan
· Pedoman keberadaan
· Pengungkapan estetika (keindahan)
· Pedoman rekreasi dan hiburan
D. KARATERISTIK AGAMA
Karakteristik agama dalam kehidupan manusia
seperti halnya bangunan yang sempurna. Seperti dalam salah satu sabda nabi
Muhammmad,bahwa beliau adalah penyempurna bangunan agama tauhid yang telah
dibawa oleh para nabi dan rosul sebelum kedatangan beliau.
Layaknya sebuah bangunan agamapun harus
memiliki rangka yang kokoh, tegas, dan jelas. Rangka yang baik adalah rangka
yang menguatkan bangunan yang akan dibangun diatasnya. Memiliki ukuran yang
simetris satu sama lainnya. Komposisi bahan yang tepat karena berperan sebagai
penopang. Oleh sebab itu, kerangka harus memiliki luas yang cukup atau memiliki
perbandingan yang sesuai dengan bangunannnya. Itulah sebaik-baiknya agama
dengan demikian agama pada dasarnya berperan sebagai pedoman kehidupan manusia,
untuk menjalani kehidupannya dibumi. Manusia akan kehilangan pedoman atau
pegangan dalam menjalani kehidupan di dunia bila tidak berpedoman pada agama.
Dewasa ini agama mengalami beralih dan berpedoman kepada akal logikanya.
Padahal akal dan logika manusia memiliki keterbatasan yaitu keterbatasan
melihat masa depan. Sedangkan agama telah disusun sedemikian rupa oleh sang
pencipta agar menjadi pedoman sepanjang hayat manusia. Akibat dari skularisme
ini mnimbulkan gaya hidup baru bagi kaum muslim yakni gaya hidup hedomisme dan
pragmatis.
Adapun karakteristik agama pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Agama adalah suatu sistem tauhid atau sistem
ketuhanan(keyakinan) terhadap eksistensi suatu yang absolut(mutlak), diluar
diri manusia yang merupakan pangkal pertama dari segala sesuatu termasuk dunia
dengan segala isinya.
2. Agama merupakan sistem ritual atau peribadatan(penyembahan) dari
manusia kepada suatu yang absolut.
3. Agama adlah suatu sistem nilai atau norma (kaidah) yang menjadi
pola hubungan manusiawi antara sesama manusia dan pola hubungan dengan ciptaan
lainnya dari yang absolut.
E. HUBUNGAN AGAMA DENGAN MANUSIA DALAM KEHIDUPAN
Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur
yang tak terpisahkan dari kehidupan dan sistem budaya umat manusia. Sejak awal
manusia berbudaya, agama dan kehidupan beragama tersebut telah menggejala dalam
kehidupan, bahkan memberikan corak dan bentuk dari semua perilaku budayanya.
Agama dan perilaku keagamaan tumbuh dan berkembang dari adanya rasa
ketergantungan manusia terhadap kekuatan goib yang mereka rasakan sebagai
sumber kehidupan mereka. Mereka harus berkomunikasi untuk memohon bantuan dan
pertolongan kepada kekuatan gaib tersebut, agar mendapatkan kehidupan yang
aman, selamat dan sejahtera. Tetapi “apa” dan “siapa” kekuatan gaib yang mereka
rasakan sebagai sumber kehidupan tersebut, dan bagaimana cara berkomunikasi dan
memohon peeerlindungan dan bantuan tersebut, mereka tidak tahu. Mereka hanya
merasakan adanya da kebutuhan akan bantuan dan perlindunganya. Itulah awal rasa
agama, yang merupakan desakan dari dalam diri mereka, yang mendorong timbulnya
perilaku keagamaan. Dengan demikian rasa agama dan perilaku keagamaan (agama
dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau dengan
istilah lain merupakan “fitrah” manusia. [8]
1. Perkembangan Agama Dan Kehidupan Budaya
Manusia
Pada tahap awalnya nampak bahwa agama
mendominasi kehidupan budaya masyarakat, kemudian dengan adanya perkembangan
akal dan budidaya manusia, maka mulai nampak gejala terjadinya proses
pergeseran dominasi agama tersebut, yang pada giliran selanjutnya tersingkirkan
dalam kehidupan budaya suatu masyarakat. Namun demikan dengan tersingkirnya
dominasi agama itu, maka pertumbuhan dan perkembangan sistem budaya dan
peradaban manusia nampak menjadi kehilangan arah dan tujuannya yang pasti,
sehingga mereka memerlukan lagi terhadap agama, bukan sebagai yang
mendomianasi, tetapi sebagai petunjuk da pengarah kehidupan mereka.
Perkembangan agama dan kehidupan budaya umat
manusia dalam proses sejarah yang panjang tersebut dapat dilihat secara
selintas pada pertumbuhan dan perkembangan manusia secara individual. Pada
tahap awalnya kehidupan manusia diliputi oleh ketidak-tahuan dan
ketidak-berdayaan, sehingga sifat ketergantungan pada orang tua (yang
memelihara) sangat menonjol. Setelah akal fikiran dan kemampuan budidayanya
tumbuh dan berkembang, maka sifat ketergantungan itu semakin berkurang, dan
setelah menginajak dewasa sifat kemandiriannya inilah manusia memerlukan adanya
pedoman hidup, karena tanpa pedoman/tujuan yang pasti, maka kemandirian akan
menimbulkan kekacauan dan malapetaka dalam kehidupan manusia. Kemudian pada
masa tua, dimana kemampuan akal fikiran dan budidaya manusia sudah mulai
berkurang, maka manusia memerlukan kembali tempat bergantung yang pasti sebagai
tempat kembali.
Kalau di hubungkan dengan hukum perkembangan,
ketiga tahap perkembangan jiwa atau masyarakat/budaya manusia itu adalah pada
tahap awal (masa kanak-kanak) disebut dengan tahap teologik, fiktif; masa
remaja (masa tumbuh dan berkembangnya pemikiran abstrak) sebagai tahap metafisik atau abstrak; dan
masa dewasa sebagai tahappositif atau riil. Sedangkan
masa tua sebagai kelanjutan perkembangan lebih lanjut dari tahap
positif atau riil tersebut.[9]
IV. KESIMPULAN
Manusia hakikatnya
adalah makhluk biologis, psikolsogi dan sosial yang memiliki dua predikat
statusnya dihadapan Allah sebagai Hamba Allah dan fungsinya didunia
sebagai khalifah Allah), mengantur alam dan mengelolanya untuk
mencapai kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat dengan
tetap tunduk dan patuh kepada sunnatullah. Rasa agama dan perilaku keagamaan
(agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan dari kehidupan manusia, atau
dengan istilah lain merupakan “fitrah” manusia.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami
paparkan tentang hukum syar’i, semoga bermanfa’at bagi pembaca pada umumnyadan
pada kami pada khususnya. Dan tentunya makalah ini tidak lepas dari
kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami
butuhkan, guna memperbaiki makalah selanjutnya.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Fathoni Ahmad Miftah Drs., M.Ag, Pengantar Studi
Islam, 2001, Semarang, Gunung Jati.
Supadie Didiek
Ahmad,dkk. Pengantar Studi Islam, 2011 , Jakarta, Rajawali Pers.
Muhaiman Dimensi-Dimensi
Studi Islam, 1994, Surabaya,Karya Abditama
Syukur Amin Prof. Dr.
H. M., MA, Pengantar Studi Islam, 2010, Semarang, Pustaka Nuun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar