PEPERANGAN BUDAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa
ini, kebudayaan yang merupakan hasil
cipta, karya dan karsa manusia telah berkembang dengan begitu pesatnya
bersesuaian dengan perkembangan informasi. Informasi yang saat ini telah
menjadi komoditas primer masyarakat sedikit banyak telah mempengaruhi
kebudayaan masyarakat Indonesia.
Keberagaman budaya di Indonesia yang terpelihara sejak lama telah
menjadi salah satu ciri khas Negara Indonesia.
Namun,
keberagaman yang ada di Indonesia tak selamanya dapat berdampingan dengan baik.
Pengagungan pada budaya menjadikan masyarakat Indonesia terkadang sulit
bertoleransi. Sehingga ada saatnya latar belakang kebudayaan yang berbeda
menjadi pemicu konflik antar kelompok (suku) yang berpegang teguh pada adat dan
budayanya.
Inilah
yang melatar belakangi kami mengambil judul “Perang antar Budaya”.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latarbelakang diatas, rumusan masalah
dari makalah ini adalah :
1.
Apa
yang dimaksuddengan kebudayaan beserta unsur-unsurnya ?
2.
Bagaimana
wujud kebudayaan ?
3.
Apa
faktor – faktor pembentuk budayadalam masyarakat ?
4.
Bagaimana
perbedaan latarbelakang kebudayaan dapat menjadi pemicu konflik ?
5.
Bagaimana
fenomena konflik budaya yang terjadi dalam masyarakat Indonesia ?
1.3 Tujuan
Mengertahui
bagaimana latar belakang budaya menjadi pemicu konflik antar suku.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari makalah ini berupa :
1.
Untuk
mengetahui kebudayaan besertaunsur-unsrunya
2.
Untuk
mengenal wujud dan sifat kebudayaan
3.
Untuk
mengetahui faktor pembentuk budaya dalam
masyarakat
4.
Untuk
mengetahui perbedaan latarbelakang kebudayaan dapat menjadi pemicu konflik
5.
Untuk
mengetahui fenomena konflik budaya yang terjadi dalam masyarakat Indonesia
6.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1
Pengertian Kebudayaan
Budaya atau
kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture,
yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward
Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai
definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan,
kesenian, hukum,
adat istihadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh
manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Misalnya: dari alat-alat yang paling
sederhana seperti asesoris perhiasan tangan, leher dan telinga, alat rumah
tangga, pakaian, system computer, non materil adalah unsur-unsur yang
dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan / keyakinan
serta bahasa.
1.
Kebudayaan dalam Pandangan Sosiologi
Bagaimana
para sosiolog mendefinisikan kebudayaan Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari
interaksi sosial antar manusia dalam masyaralat mendefinisikan kebudayaan
sebagai berikut :
1.
Keseluruhan (total) atau pengorganisasian way of life
termasuk nilai-nilai, norma-norma, institusi, dan artifak yang dialihkan dari
satu generasi kepada generasi berikutnya melalui proses belajar (Dictionary of
Modern Sociology).
2.
Francis Merill mengatakan bahwa kebudayaan adalah :
·
Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial
·
Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh
seseorang sebagai anggota suatu masyarakat yang di temukan
melaluiinteraksisimbolis.
3.
Bounded et.al (1989), kebudayaan. adalah sesuatu yang
terbentuk oleh Pengembangan dah transmisi dari kepercayaan manusia melalui
simbol-simbol tertentu, misalnya symbol bahasa sebagai rangkaian simbol. yang
digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu
masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di
dalam media, pernerintahan, institusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu.
4.
Mitchell (ed) dalam Dictionary of Soriblogy mengemukakan,
kebudayaan adalah sebagian dari perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas
manusia (dan produk yang dihasilkan manusia) yang telah memasyarakat secara
sosial dan bukan sekedar dialihkan secara genetikal.
2.
Kebudayaan Dalam
PandanganAntropologi
Bagaimana
seorang antropolog mendefinisikan kebudayaan?
a.
Berdasarkan. Encyclopedia of Sociology, kebudayaan menurut
Para antropolog diperkenalkan Pada abad 19. Gagasan ini Pertama. kali muncul di
zaman renaisans untuk menggarnbarkan adat istiadat, kepercayaan, bentuk-bentuk
sosial, dan bahasa-bahasa Eropa. di masa. silam yang berbeda dengan masa kini.
Periode kedua dari kebudayaan terjadi tatkala konsep ini mulai mendapat
pengakuan bahwa kini manusia itu berbeda-beda berdasarkan wilayah diatas muka
bumi, variasi itu diperkuat oleh bahasa yang mereka gunakan, ritual yang mereka
praktekan serta berdasarkan jenis-jenis masyarakat di mana mereka tinggal.
b.
Malinowski mengatakan bahwa kebudayaan merupakan kesatuan
dari dua aspek fundamental, kesatuan pengorganisasian yaitu tubuh artifak dan
sistem adat istiadat.
c.
Kebudayaan adalah perilaku yang dipelajari, seorang tidak
dapat dilahirkan dengan tanpa kebudayaan, kebudayaan itu bersifat universal,
setiap manusia memiliki kebudayaan yang dia peroleh melalui usaha
sekurang-kurangnya melalui belajar secara biologis.
Maka dapat disimpulkan bahwa, kebudayaan adalah
keseluruhan prilaku masyarakat sebagai wujud hasil karya, cipta dan karsa
manusia, yangmencakup nilai-nilai, norma-norma, hukum, adat, yang terdapat
dalam lingkungan, kemudian diturunkan dari generasi ke generasi dalam
bentuk-bentuk simbolis dan yang lainnya.
2.2 Wujud dan
Komponen Kebudayaan
Wujud Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan,
aktivitas, dan artefak.
·
Gagasan
(Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang
berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak;
tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam
kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat.
Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan,
maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil
karya para penulis warga masyarakat tersebut.
·
Aktivitas
(tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai
suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula
disebut dengan sistem sosial.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia
lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
·
Artefak
(karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik
yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu
tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud
kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan
karya (artefak) manusia.
Komponen Kebudayaan
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya
memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora,
yaitu :
·
Kebudayaan
material
Kebudayaan material mengacu pada semua
ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini
adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk
tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga
mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga,
pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
·
Kebudayaan
nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan
abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng,
cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
·
Lembaga
social
Lembaga social dan pendidikan memberikan
peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam
masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar
dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di Indonesia
pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi
apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar
hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier
·
Sistem
kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan
membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan
mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini
akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan,
cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
· Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music,
cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang
dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai
estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar
pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di
beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa
saj harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti
disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin
tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
·
Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam
berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki
perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen
komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang
hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan dan
kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik
dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.
2.3
Faktor Pembentukan
Budaya
Tinjauan Antropologis Terhadap
Pembentukan Budaya
Tijauan antropologis yang dimaksud
adalah tinjauan dari aspek penciptaan budaya oleh manusia. Tinjauan ini
dimaksudkan untukmendapatkan keterangan sampai seberapa jauh aspek-aspek
manusiawi yang mempengaruhi lahirnya kebudayaan, terutama pembinaan moral
bangsa. Suatu ketentuan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa manusia
merupakan makhluk budaya, dalam arti dengan seluruh potensi yang dimiliki, ia
mampu melahirkan cipta, rasa, dan karsa. Inilah yang paling menarik perhatian
para pemikir, baik dari kalangan umum maupun dari kalangan Islam, sehingga
banyak di antara mereka menghabiskan waktunya untuk melakukan
penelitian-penelitian dalam bidang ini.Dengan behavioral science, mereka
melakukan analisis psikologis terhadap tingkah laku manusia guna memperoleh
kejelasan terhadap kerja cipta, rasa, dan karsa, melauli beberapa aspek antara
lain: cognitive dan emosi.Dari penelitian-penelitian tersebut didapat berbagai
potensi yang terdapat pada manusia sejak ia dilahirkan. Pada saat diciptakan,
manusia telah dilengkapi dengan empat fitrah (dorongan) yang menjadi potensi
bagi pengembangan budaya. dari keempat dorongan itu manusia mampu menciptakan
budaya sebagai pengejawantahan dari cipta, rasa, dan karsa. Dorongan-dorongan
itu ialah:
1. Dorongan Naluri (hidayah
fitriyah). Sejak dilahirkan, manusia telah menampakkan gejala-gejala sebagai
pertanda bahwa dia adalah makhluk berbudaya, antara lain terlihat pada saat
lapar ataupun haus, ia mengeluarkan suara tangisan dan pada saat disusui
ibunya, ia mampu menghisap air susu ibu tersebut tanpa ada yang
mengajarinya.Gejala yang disebut juga dengan instinct Inilah yang mendasri
penciptaan budaya, meskipun dalam bentuk prima.Potensi naluri yang terdapat
pada diri manusia secara natural ini, dimiliki juga oleh binatang dan
tumbuh-tumbuhan.
2. Dorongan Indrawi (hidayah
hissiyah). Di samping naluri, manusi juga diberi kemampuan menerima rangsangan
dari luar seperti panas ataupun dingai, bunyi-bunyian, pemandangan yang indah,
bau-bauan, danmanis ataupun asin dengan perantaraan panca inderanya yaitu: alat
peraba, pendengar, pengelihat, pencium, dan perasa. Berbagai budaya yang berupa
bunyi-bunyian, bentuk-bentuk pemandangan, peralatan, dan sebagainya adalah
hasil tiruan manusia dari apa saja yang dapat ditangkap oleh pancainderanya.
Dengan potensi itu manusia dapat menjaga kelangsungan hidupnya, melindungi
dirinya dari bahaya yang mangancam, memenuhi kebutuhan minum, makan, bertempat
tinggal, dan memenuhi kepuasan-kepuasan untuk dirinya. Di samping pada manusia,
potensi ini juga didapati pada dunia binatang, tetapi tidak pada
tumbuh-tumbuhan.
3. Dorongan Akal hidayah 'aqliyah).
Gejala-gejala lahir yang ditangkap oleh pancaindera kadang-kadang menyimpang
dari realitas yang sebenarnya, seperti halnya jalan karena api yang sebenarnya
sejajar, tetapi pada jarak tertentu terlihat bertemu di satu titik, dan tongkat
yang sebenarnya lurus, apabila dicelupkan ke dalam air tampak membengkok.
Penyimpangan seperti itu tentu harus dikontrol dengan kemampuan akal, agar
gejala-gejala yang sebenarnya dapat diketahui. Dengan potensi berfikir daya
khayalnya, manusia mampu melakukan apreseasi (apperception), dan menyalurkan
apresiasinya itu melalui cipta, rasa, dan karsa. Dari kemampuan akal ini,
manusia mampu membuat alat untuk memudahkan keperluan-keperluannya, dari yang
sederhana sampai yang canggih, sehingga oleh orang Barat disebut dengan the
tool making animal (makhluk pembuat alat). Makin tinggi daya kreasi manusia,
makin canggih pula bentuk-bentuk budaya materialnya.Ia tidak hanya mampu
menciptakan alat dengan meniru benda-benda alam, tetapi juga mampu menciptakan
konsep-konsep baru yang didapat dengan daya pikirannya. Melalui indera
pendengarannya, manusia mampu menangkap getaran-getaran suara dari hembusan
angin, gesekan batang pohon, dan sumber suara lainnya yang terekam dalam
apresepsi material. Melalui daya ciptanya, manusia mampu melahirkan
gambaran-gambaran bunyi yang mengandung arti tertentu untuk berkomunikasi
dengan sesamanya atau dengan makhluk yang lain, sehingga oleh para filosof
disebut dengan zoon politicon atau dalam bahasa Arab disebut al-hayawan al-Atiq
(makhluk yang berbicara).
4. Dorongan Religi (hidayah
diniyah). Karena daya pemikiran manusia tidak dapat menjangkau apa yang terdapat
di balik alam maya pada, maka perlu disambung dengan bimbingan sang Pencipta
alam semesta yang diturunkan melalui para rasul-Nya15. Dengan bimbingan ini
manusia dapat mengetahui apa yang semestinya dilakukan, sehingga budaya yang
diciptakan dapat berguna baik bagi dirinya, makhluk sesamanya, ataupun
makhluk-akhluk yang lain. Menurut sifatnya, manusia adalah makhluk berberagama,
atau disebut dengan istilah homo-relegiosi16. Dengan berpedoman pada agama,
manusia dapat memperhalus budinya, sehingga ia bisa menjelaskan tugasnya
sebagai Master of the World/ khalifahtullah di muka bumi ini.
Berdasarkan potensi yang ada pada
manusia tersebut, pembentukan budaya dapat dibagi menjadi empat fase:
1) Fase Instinctive. Fase di mana
dorongan pembentukan budaya itu semata-mata timbul dari naluri,
2) Fase Inderawi. Fase pembentukan
budaya yang didorong oleh hasil penginderaan manusia pada alam sekitar,
3) fase Akal. Fase di mana manusia
membentuk budayanya dengan jalan menggunakan kekuatan pikirannya serta
imajinasinya, sehingga mampu menciptakan budaya,
4) Fase Religi. Bimbingan wahyu,
intuisi atau bisikan yang dirasakan datangnya dari Maha Pencipta, sehingga
memberikan dorongan-dorongan bagi manusia untuk melengkapi hasil budayanya
dengan nilai-nilai keagamaan.
Penetrasi
kebudayaan
Yaitu masuknya pengaruh suatu
kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua
cara:
·
Penetrasi damai
(penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan
jalan damai. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan
konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua
kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya
masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai
akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah
bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa
menghilangkan unsur kebudayaan asli.Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan
sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua
kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat
berbeda dengan kebudayaan asli.
·
Penetrasi kekerasan
(penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan
cara memaksa dan merusak.
Sebuah kebudayaan besar biasanya
memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah
kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan
dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal,
diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama,
pekerjaan, pandangan politik dan gender.
2.4
Budaya sebagai salah satu faktor timbulnya konflik
Menurut Alo Liliweri konflik adalah bentuk perasaan
yang tidak beres yang melanda hubungan antara satu bagian dengan bagian lain,
satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok lain. Konflik dapat
secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif
fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur.
1.
Pengertian
Konflik
Konflik didefinisikan sebagai interaksi antara dua
atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh
perbedaan tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut
menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut.
Implikasi dari definisi konflik adalah :
1.
Konflik dapat terjadi di dalam atau di luar sebuah
system kerja peraturan.
2.
Konflik harus disadari oleh setidaknya salah satu
pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
3.
Keberlanjutan bukan suatu hal yang penting karena akan
terhenti ketika suatu tujuan telah tercapai
4.
Tindakan bisa jadi menahan diri dari untuk tidak
bertindak
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan
permasalahan- permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih.
Menurut Indrio Gito Sudarmo dan I Nyoman Sudita,
banyak Tokoh yang membahas mengenai “Teori Konflik” seperti Karl Marx,
Durkheim, Simmel, dan lain-lain yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi
dan sosial. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses
perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Ia mengantisipasi
bahwa kedamaian dan harmoni akan menjadi hasil akhir sejarah perang dan
revolusi kekerasan. Namun bentrokan kepentingan kepentingan ekonomi ini akan
berakhir di dalam sebuah masyarakat yang tanpa kelas, tanpa konflik dan
kreatifitas yang disebut komunisme. Kalau konflik ini terus terusan dibiarkan,
akan membuat ketidakstabilan di masyarakat. Masyarakat akan merasa terancam dan
tidak kenang dalam hidupnya.
Durkheim menekankan proses sosial yang meningkatkan
integritas sosial dan kekompakan. Meskipun dia mengakui bahwa konflik terjadi
dalam kehidupan sosial, dia cenderung untuk memperlakukan konflik yang
berlebih-lebihan sebagai sesuatu yang tidak normal dalam integrasi masyarakat.
Hubungan saling ketergantungan antara konflik dan kekompakan dinyatakan juga
dalam dinamika di dalam hubungan kelompok dalam (in-group) dan kelompok
luar (out-group). Suatu kelompok atau masyarakat cenderung memiliki
sumber yang dapat dikerahkan dan solidaritasnya diperkuat bila kelompok itu
terlibat dalam konflik dengan kelompok atau masyarakat lain. Selama masa dimana
ada ancaman atau konflik dengan organisasi luar, percekcokan atau konflik dalam
kelompok cenderung rendah dan menurun.
2.
Konflik
Antar Etnis
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan
permasalahan permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan teritorial di antara dua kelompok etnis atau lebih. Konflik etnis
seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Namun biasanya konflik
etnis bernuansa dengan kekerasan dan jatuh korban. Etnik atau suku bangsa,
biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu dengan lainnya. Sesuatu
yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya
bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar
etnis.
Faturochman menyebutkan setidaknya ada enam hal yang
biasa melatarbelakangi terjadinya konflik etnis terjadi disebuah tempat. Enam
hal tersebut antara lain yakni:
1. Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak
2. Perebutan sumber daya
3. Sumber daya yang terbatas
4. Kategori atau identitas yang berbeda
5. Prasangka atau diskriminasi
6. Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Konflik antar etnis yang terjadi dapat dikatakan
karena kepentingan beberapa oknum atau pihak yang memang bertujuan untuk
mengambil untung dari konflik tersebut. Etnis etnis yang saling berkonflik
sangat mudah di adu domba karena memang sumber daya manusia yang terbatas.
Dalam arti pendidikannya kurang dan tingkat ekonomi yang rendah. Seharusnya
dari masing masing kepala daerah yang ada di wilayah konflik tersebut harus
tegas membuat atau merealisikan kebijkan ketika terjadi sebuah konflik antar
etnis.
Dalam konteks Indonesia sendiri, kita kerap kali
mendengar terjadinya konflik antar etnis. Sebenarnya akar dari konflik ini
adalah keterbelakangan dari masyarakat di wilayah konflik tersebut. Sementara
itu, Sukamdi menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari
tiga sebab utama, yakni:
1. Konflik muncul karena ada benturan budaya
2. Karena masalah ekonomi politik
3. Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul
kesenjangan sosial.
Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain
hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang
menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang
lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya,
seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu
keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan
perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain
berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat
berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk
memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang
terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang
akan menjadi konflik.
Berdasarkan tulisan dari Stefan Wolff, bahwa konflik
etnis ini sebagian besar terjadi di wilayah Afrika, Asia, serta sebagian Eropa
Timur. Dikatakan bahwa negara-negara Eropa Barat serta Amerika Utara tidak
terpengaruh atas konflik etnis yang terjadi di dunia ini. Yang menjadi
pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa konflik tersebut terjadi di wilayah yang
terbelakang secara peradaban? Belum ada jawaban atas pertanyaan ini. Jawaban
yang cukup masuk akal akan pertanyaan ini adalah berdasarkan rentan waktu munculnya
peradaban.
Asia dan Afrika adalah dua benua yang memiliki sejarah
peradaban tertua di dunia. dan secara tidak sengaja, kedua benua ini memiliki
berbagai macam etnis,ras, ataupun suku bangsa. Tentu saja hal ini tidak dapat
ditemui di benua Amerika yang merupakan “peradaban baru” bentukan Eropa.
Peradaban-peradaban ini sejak dahulu selalu terlibat perang suku. Celakanya,
perang antar suku dan ras yang terjadi ini menyimpan dendam diantara semua
pihak yang bertikai dan masih terbawa hingga kini. Dengan demikian, Wolff
menyimpulkan bahwa “ethnic conflicts are based on ancient hatreds between
groups fighting in them and that”. Sebagian kecil konflik yang terjadi adalah
akibat isu kontemporer politik ataupun agama.
3.
Konflik
Antar Etnis di Indonesia
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat
Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung
barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah
menyelimuti Tanah Air. Semboyan yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda
“Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai seluruh warga bangsa ini. Rasa
satu kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata
semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana belaka.
Di balik konflik antaretnis di Indonesia yang
memecahkan satu kesatuan bangsa jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu
yang membuat satu etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa
keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah
kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya.
Setiap konflik yang berujung SARA bermula dari konflik individu yang kemudian
mengarah ke konflik kolektif yang mengatasnamakan etnis. Kasus konflik Tarakan,
Kalimantan Timur, berawal dari salah seorang pemuda Suku Tidung yang melintas
di kerumunan Suku Bugis, lantas di keroyok oleh lima orang hingga tewas karena
sabetan senjata tajam. Konflik Tarakan menjadi memanas nyatanya tersimpan
dendam ke Suku Bugis yang lebih maju menguasai sektor ekonomi. Faktor
ekonomi juga menjadi penyebab utama konflik di bangsa ini, dalam kasus sebuah
klub kafe di Bilangan Jakarta Selatan “Dari Blowfish Ke Ampera” antara Suku
Ambon dan Suku Flores yang berawal dari perebutan jasa penjaga preman hingga
konflik tersebut mengarah ke konflik etnis. Sampai pada Sidang Pengadilan
masing-masing pihak yang bertikai masih menunjukan etnosentrisnya.
Penguasaan sektor ekonomi memicu besarnya sentimen
etnis dan adanya prejudice membuat konflik meranah ke agama. Konflik
agama yang terjadi di Poso jika ditelusi secara mendalam bermula dari
pertikaian pemuda yang berbeda agama yang sedang mabuk hingga karena sentimen
kepercayaan hingga merambah ke konflik etnis dan agama. Konflik Poso kian
memanas ketika provokasi akan adanya masjid yang dibakar oleh umat kristiani,
agama memang sangat rentan. Aparat Pemerintah bukanya sebagai penengah namun
ikut andil dalam konflik ini. Nampaknya kesenjangan sosial ekonomi dari
pendatang yang sebagai mayoritas menguasai sektor ekonomi membuat konflik menjadi
lebih memanas.
Ketidakmerataan penyebaran penduduk juga dapat
menimbulkan masalah. Kepadatan penduduk yang mendororong etnis Madura melakukan
migrasi ke Pulau Kalimantan. Di mana masih membutuhkan kebutuhan akan Sumber
Daya Manusia untuk mengolah kekayaan alam dan membangun infrastruktur
perekonomian. Pencapaian atas kerja keras, hidup hemat bahkan penderitaan yang
dirasakan etnis Madura terbayarkan sudah ketika keberhasilan sudah ditangan.
Dengan menguasai sektor-sektor perdagangan sehingga orang-orang non Madura yang
lebih awal bergerak di bidang itu terpaksa terlempar keluar.
Alternatif dalam menyatukan etnis di Indonesia dengan
mengadakan akomodasi merupakan solusi yang tepat untuk menyatukan bangsa yang
besar ini. KH. Abdurahman Wahid mengungkapkan “Sebuah bangsa yang mampu
bertenggang rasa terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan ideologi
adalah bangsa yang besar” untuk mewujudkan integrasi antaretnis di Indonesia
dengan mutual of understanding, sehingga semboyan yang mencengkram dalam
kaki kuat Burung Garuda bukanlah wacana lagi.
4.
Solusi
Penyelesaian Konflik Antar Etnis
Konflik antar etnis di Indonesia harus segera
diselesaikan dan harus sudah ada solusi konkritnya. Dalam bukunya Wirawan
dengan judul Konflik dan Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian
menjelaskan bagaimana cara menyelesaikan konflik antar etnis yang ada di sebuah
Negara. Pertama, melalui Intervensi pihak ketiga. Dimana keputusan intervensi
pihak ketiga nantinya final dan mengikat. Contoh adalah pengadilan. Kedua, Mediasi.
Mediasi ini adalah cara penyelesaian konflik melalui pihak ketiga juga yang
disebut sebagai mediator. Ketiga, Rokosialisasi. Proses penyelesaian konflik
dengan transormasi sebelum konflik itu terjadi, dimana masyarakat pada saat itu
hidup dengan damai. Adapun cara lain dalam menyelesaikan konflik yang ada,
yakni:
1.
Konflik Itu Harus di Management Menuju Rekonsiliasi
Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh
setiap orang yang hidup di dunia ini. Apa lagi konflik yang bernuansa karena
perbedaan agama yang dianut dan pebedaan etnis. Konflik yang demikian itu
memang suatu konflik yang sangat serius. Untuk meredam wajah bahaya dari
konflik itu, maka konflik itu harus dimanagement agar ia berproses ke arah yang
positif. Dr. Judo Poerwowidagdo, MA. Dosen Senior di Universitas Duta Wacana
Yogyakarta menyatakan bahwa proses konflik menuju arah yang positif itu adalah
sbb: Dari kondisi yang “Fight” harus diupayakan agar menuju Flight.
Dari kondisi Flight diupaykan lagi agar dapat menciptakan kondisi yang Flaw.
Dari Flaw inilah baru diarahkan menuju kondisi Agreement, terus
ke Rekonsiliasi. Karena itu, masyarakat terutama para pemuka agama
dan etnis haruslah dibekali ilmu Management Konflik setidak-tidaknya untuk
tingkat dasar.
2.
Merobah Sistem Pemahaman Agama.
Konflik yang bernuansa agama bukanlah karena
agama yang dianutnya itu mengajarkan untuk konflik. Karena cara umat
memahami ajaran agamanyalah yang menyebabkan mereka menjadi termotivasi untuk
melakukan konflik. Keluhuran ajaran agama masing-masing hendaknya tidak
di retorikakan secara berlebihan. Retorika yang berlebihan dalam mengajarkan
agama kepada umat masing-masing menyebabkan umat akan merasa dirinya lebih
superior dari pemeluk agama lain. Arahkanlah pembinaan kehidupan beragma untuk
menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang dianut. Misalnya,
semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup sabar menghadapi proses kehidupan ini. Menjadi lebih tabah menghadapi berbagai AGHT
(ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan) dalam menghadapi hidup ini. Rela berkorban demi kepentingan yang
lebih mulia. Tidak mudah putus asa
memperjuangkan sesuatu yang benar dan adil. Tidak mudah mabuk atau lupa diri kalau mencapai sukses. Orang yang
sukses seperti menjadi kaya, pintar, menjadi penguasa, cantik, cakep, memiliki
suatu power, merasa diri bangsawan. Semuanya itu dapat menyebabkan orang
menjadi mabuk kalau kurang waspada membawa diri. Hal-hal yang seperti itulah
yang sesungguhnya lebih dipentingkan oleh masyarakat bangsa kita dewasa ini.
3.
Mengurangi Penampilan Berhura-Hura dalam Kehidupan Beragama.
Kegiatan beragama seperti perayaan hari raya agama,
umat hendaknya mengurangi bentuk perayaan dengan penampilan yang berhura
hura. Hal ini sangat mudah juga memancing konflik. Karena umat lain juga
dapat terpancing untuk menunjukan existensi dirinya bahwa ia juga menganut
agama yang sangat hebat dan luhur.
4. Redam Nafsu Distinksi
Untuk Menghindari Konflik Etnis.
Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari
dalam dirinya. Salah satu nafsu itu ada yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini
mendorong seseorang untuk menjadi lebih dari yang lainya. Kalau nafsu ini
dikelola dengan baik justru akan membawa manusia menjadi siap hidup bersaing.
Tidak ada kemajuan tanpa persaingan. Namun, persaingan itu adalah persaingan
yang sehat. Persaingan yang sehat itu adalah persaingan yang berdasarkan
noram-norma Agama, norma Hukum dan norma-norma kemanusiaan yang lainya. Namun,
sering nafsu Distinksi ini menjadi dasar untuk mendorong suatu etnis bahwa
mereka adalah memiliki berbagai kelebihan dari etnis yang lainya. Nafsu
Distinksi ini sering membuat orang buta akan berbagai kekuranganya. Hal inilah
banyak orang menjadi bersikap sombong dan exlusive karena merasa
memiliki kelebihan etnisnya.
Untuk membangun kebersamaan yang setara,
bersaudara dan merdeka mengembangkkan fungsi, profesi dan posisi,
maka dalam hubungan dengan sesama dalam suatu masyarakat ada baiknya kami
sampaikan pandangan Swami Satya Narayana sbb: “Agar hubungan sesama manusia
menjadi harmonis, seriuslah melihat kelebihan pihak lain dan remehkan
kekuarangannya. Seriuslah melihat kekurangan diri sendiri dan remehkan
kelebiihan diri”. Dengan demikian semua pihak akan mendapatkan manfaat
dari hubungan sosial tersebut. Di samping mendapatkan sahabat yang semakin
erat, juga mendapatkan tambahan pengalaman positif dari sesama dalam
pergaulan sosial. Dengan melihat kelebiihan sesama maka akan semakin
tumbuh rasa persahabatan yang semakin kekal. Kalau kita lihat kekurangannya
maka kita akan terus merasa jauh dengan sesama dalam hubungan
sosial tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN
Kasus yang
dibahas :
TIMIKA
- Ratusan warga dari dua kampung, di Kampung Timika, Gunung Distrik Kuala
Kencana, sore tadi kembali terlibat bentrok. Padahal, kedua pihak sebelumnya
sepakat akan berdamai dan melakukan seremoni patah panah.
Sebelum terlibat bentrok, situasi warga yang bertikai di kawasan Jayanti, sudah mualai kondusif, di mana dalam lima bulan terakhir kedua kelompok ini terlibat aksi sengketa lahan.
Namun entah mengapa, tiba-tiba sore
tadi kedua kelompok kembali bertikai dan terlibat aksi saling serang. Sementara
pihak kepolisian bersama Brimob disiagakan di perbatasan kampung langsung
membuat blokade di perbatasan kedua kampung.
Kendati begitu, warga tetap melakukan aksi saling serang. Untuk menghentikan aksi warga kedua kelompok itu, pihak kepolsian terpaksa menghalau kedua kelompok dengan menyemprotkan air dari water canon.
Meski telah dihadang dengan menggunakan water canon, kedua kelompok warga itu tetap memaksakan diri untuk terlibat aksi saling serang. Dari catatan kepolisian, aksi saling serang mengakibatkan beberapa warga dari kedua kampung terluka.
Pertikaian antar kedua kampung yang didominasi suku Dani dan Mony ini, sudah berlangsung enam bulan, dengan korban tewas sudah mencapai 20 orang dan ratusan lainnya luka-luka.
Sebelum status tanah itu ditetapkan, maka aksi saling serang di antara kedua kelompok ini akan kembali pecah secara tiba-tiba. Sehingga kondisi tersebut semakin sulit untuk diredam.
Dari judul yang
kami ambil yaitu “Peperangan Kebudayaan” sesungguhnya yang ingin kami soroti
disini adalah bagaimana persatuan di Negara kita ini dapat terbentuk dengan
keragaman budaya yang luar biasa. Namun nyatanya tak semudah membalikkan
telapak tangan untuk mewujudkna harapan itu. Hal ini disebabkan beberapa hal,
diantaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh Sukamdi menyebutkan bahwa konflik
antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama, yakni:
1. Konflik muncul karena ada
benturan budaya,
2. Karena masalah ekonomi politik,
3. Karena kesenjangan ekonomi
sehingga timbul kesenjangan sosial.
Kita dapat melihat bahwa salah satu faktor timbulnya
konflik adalah karena benturan budaya.
Ini dikarenakan, budaya disuatu daerah yang sudah
tertanam dengan kuat pada orang-orang yang terikat dnegan budaya itu, adakalanya
sulit untuk menerima perbedaan dan sensitive terhadap pengaruh budaya dari
luar, hingga terkadang terlalu agresif menyikapi perbedaan.
Salah satu contoh nyatanya adalah kasus yang terjadi
di Timika yang telah dijabarkan diatas.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Simpulan
-
Kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
-
Wujud dan komponen Kebudayaan
·
Gagasan
(Wujud ideal)
·
Aktivitas
(tindakan)
·
Artefak
(karya)
-
Komponen Kebudayaan :
·
Kebudayaan
material
·
Kebudayaan
nonmaterial :
o
Lembaga
social
o
Sistem
kepercayaan
o
Estetika
o
Bahasa
-
Faktor pembentuk
budaya
·
Dorongan Akal hidayah
'aqliyah).
·
Dorongan Indrawi
(hidayah hissiyah).
·
Dorongan Akal (hidayah 'aqliyah).
·
Dorongan Religi
(hidayah diniyah).
-
Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan
budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana
seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa
memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami
perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
-
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat
Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung
barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah
menyelimuti Tanah Air. Di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan
satu kesatuan bangsa jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat
satu etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa
“kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya,
dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya.
4.2 Saran
Setiap Negara memiliki kebudayaannya masing-masing.
Sebagai makhluk sosial, manusia harus saling menghargai dan saling menghormati
perbedaan kebudayaan tersebut.Khususnya di Negara Indonesia yang sangat beragam
suku dan budayanya, maka dari itu masyarakat Indonesia perlu memiliki jiwa
toleransi yang tinggi. Karena kebudayaan yang berbeda harusnya tidak
menjadi menjadi sumber konflik yang
dapat memecahkan persatuan daerah satu dan lainnya. Justru dengan beragamnya
suku bangsa dapat menjadikan Indonesia kaya dengan kebudayaan serta dibarengi
dengan toleransi tinggi. Maka, tak salah jika kita berbeda, yang keliru adalah
manakala perbedaan itu tak membuat kita bersatu, sudah seharusnya kita
melaksanakan semboyan Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”.
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
INFORMAN
1
Nama : Uswa Hasanah
Alamat : Geger Kalong Tengah
Usia : 20
Tahun
Pendidikanterakhir :
SMA
Status : Mahasiswa Jurusan Psikologi
UPI
Pekerjaan : -
Hasil wawancara :
1.)
Apa yang dimaksud dengan kebudayaan?
Menurut
Ki Hajar Dewantara kebudayaan adalah hasil karya cipta dan karsamanusia. Kebudayaan tidak hanya dalam bentuk barang, tapi juga dalam bentuk peraturan maupun kesenian.
2.)
Bagaimana kondisi kebudayaan di
Indonesia?
Budaya
Indonesia sangat kaya. Dilihat dari bahasa, dan kesenian, kebudayaan di
Indonesia sangat beragam.Peraturan dan kebijakan dari setiap daerah pun
berbeda-beda. Tapi sekarang bangsa Indonesia banyak menyerap kebudayaan dariluarnegri. Kebudayaan asing tidak disaring dulu, jadi seakan-akan ditelan mentah-mentah oleh Bangsa Indoesia tanpa mempertimbangkan baik buruknya darikebudayaan baru yang masuk ke Indonesia.
3.)
Apakah budaya dapat menjadi pemicu konflik?
Sebenarnya
yang dapat menjadi pemicu konflik itu bukan dari budayanya, melainkan dari orang-orang yang
menyerap kebudayaan asing yang kurang bijaksana dalam menyikapi masuknya kebudayaan yang baru.
4.)
Bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan budaya?
Jangan menilai orang dari satu sisi saja, karna itu adalah tindakan yang tidak bijaksana.
INFORMAN
2
Nama : Hendrik N.
Alamat : Geger Arum
Usia : 19 Tahun
Pendidikanterakhir :
SMA
Status : Mahasiswa Jurusan PKN UPI
Pekerjaan : -
Hasilwawancara :
1.)
Apa yang dimaksud dengan kebudayaan?
Kebudayaan adalah kebiasaan yang
diwariskan secara turun temurun. Kebudayaan wajib dibagikan kepada anak cucunya.
2.)
Bagaimana kondisi kebudayaan di
Indonesia?
Kebudayaan
di Indonesia sudah mulai terkikis, akibat dari masuknya budaya asing. Budaya yang terkikis dimulai dari kota-kota besar, kebudayaannya mulai hilang.
3.)
Apakah budaya dapat menjadi pemicu konflik?
Jauh sebelumnya, kebudayaan bukan pemicu sebuah konflik karena dahulu kebudayaan masih dipegang kuat dan itu dapat menyatukan kita, tapi setelah adanya perkembangan zaman, itu bisa menjadi konflik.Akibat dari munculnya rasa ego
“kebudayaan saya lebih bagus dari pada kebudayaan kamu” sehingga timbullah konflik.
4.)
Bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan budaya?
Kita
harus sadar bahwa Indonesia adalah
Negara majemuk, dari beragam pulau, suku, dan budaya. Jadi kita harus mempunyai rasa
menghargai sesama kebudayaan. Dimana
pun kita berada kita harus menghargai kebuyaan daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar