Selasa, 06 Januari 2015

PEPERANGAN BUDAYA

PEPERANGAN BUDAYA

BAB I

PENDAHULUAN


1.1              Latar Belakang
Dewasa ini, kebudayaan yang merupakan  hasil cipta, karya dan karsa manusia telah berkembang dengan begitu pesatnya bersesuaian dengan perkembangan informasi. Informasi yang saat ini telah menjadi komoditas primer masyarakat sedikit banyak telah mempengaruhi kebudayaan masyarakat Indonesia.  Keberagaman budaya di Indonesia yang terpelihara sejak lama telah menjadi salah satu ciri khas Negara Indonesia.
Namun, keberagaman yang ada di Indonesia tak selamanya dapat berdampingan dengan baik. Pengagungan pada budaya menjadikan masyarakat Indonesia terkadang sulit bertoleransi. Sehingga ada saatnya latar belakang kebudayaan yang berbeda menjadi pemicu konflik antar kelompok (suku) yang berpegang teguh pada adat dan budayanya.
Inilah yang melatar belakangi kami mengambil judul “Perang antar Budaya”.
1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang diatas, rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.                  Apa yang dimaksuddengan kebudayaan beserta unsur-unsurnya ?
2.                  Bagaimana wujud kebudayaan ?
3.                  Apa faktor – faktor pembentuk budayadalam masyarakat ?
4.                  Bagaimana perbedaan latarbelakang kebudayaan dapat menjadi pemicu konflik ?
5.                  Bagaimana fenomena konflik budaya yang terjadi dalam masyarakat Indonesia ?
1.3 Tujuan
            Mengertahui bagaimana latar belakang budaya menjadi pemicu konflik antar suku.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari makalah ini berupa :
1.                  Untuk mengetahui kebudayaan besertaunsur-unsrunya
2.                  Untuk mengenal wujud dan sifat kebudayaan
3.                  Untuk mengetahui  faktor pembentuk budaya dalam masyarakat
4.                  Untuk mengetahui perbedaan latarbelakang kebudayaan dapat menjadi pemicu konflik
5.                  Untuk mengetahui fenomena konflik budaya yang terjadi dalam masyarakat Indonesia


6.                   

BAB II

LANDASAN TEORETIS


2.1              Pengertian Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
 Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan, kesenian, hukum, adat istihadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Misalnya: dari alat-alat yang paling sederhana seperti asesoris perhiasan tangan, leher dan telinga, alat rumah tangga, pakaian, system computer, non materil adalah unsur-unsur yang dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan / keyakinan serta bahasa.
1.                  Kebudayaan dalam Pandangan Sosiologi
Bagaimana para sosiolog mendefinisikan kebudayaan Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari interaksi sosial antar manusia dalam masyaralat mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut :
1.                  Keseluruhan (total) atau pengorganisasian way of life termasuk nilai-nilai, norma-norma, institusi, dan artifak yang dialihkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui proses belajar (Dictionary of Modern Sociology).
2.                  Francis Merill mengatakan bahwa kebudayaan adalah :
·                     Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial
·                     Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat yang di temukan melaluiinteraksisimbolis.
3.                  Bounded et.al (1989), kebudayaan. adalah sesuatu yang terbentuk oleh Pengembangan dah transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya symbol bahasa sebagai rangkaian simbol. yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pernerintahan, institusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu.
4.                  Mitchell (ed) dalam Dictionary of Soriblogy mengemukakan, kebudayaan adalah sebagian dari perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia (dan produk yang dihasilkan manusia) yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara genetikal.
2.                  Kebudayaan Dalam PandanganAntropologi
Bagaimana seorang antropolog mendefinisikan kebudayaan?
a.                   Berdasarkan. Encyclopedia of Sociology, kebudayaan menurut Para antropolog diperkenalkan Pada abad 19. Gagasan ini Pertama. kali muncul di zaman renaisans untuk menggarnbarkan adat istiadat, kepercayaan, bentuk-bentuk sosial, dan bahasa-bahasa Eropa. di masa. silam yang berbeda dengan masa kini. Periode kedua dari kebudayaan terjadi tatkala konsep ini mulai mendapat pengakuan bahwa kini manusia itu berbeda-beda berdasarkan wilayah diatas muka bumi, variasi itu diperkuat oleh bahasa yang mereka gunakan, ritual yang mereka praktekan serta berdasarkan jenis-jenis masyarakat di mana mereka tinggal.
b.                  Malinowski mengatakan bahwa kebudayaan merupakan kesatuan dari dua aspek fundamental, kesatuan pengorganisasian yaitu tubuh artifak dan sistem adat istiadat.
c.                   Kebudayaan adalah perilaku yang dipelajari, seorang tidak dapat dilahirkan dengan tanpa kebudayaan, kebudayaan itu bersifat universal, setiap manusia memiliki kebudayaan yang dia peroleh melalui usaha sekurang-kurangnya melalui belajar secara biologis.
Maka dapat disimpulkan bahwa, kebudayaan adalah keseluruhan prilaku masyarakat sebagai wujud hasil karya, cipta dan karsa manusia, yangmencakup nilai-nilai, norma-norma, hukum, adat, yang terdapat dalam lingkungan, kemudian diturunkan dari generasi ke generasi dalam bentuk-bentuk simbolis dan yang lainnya.
2.2 Wujud dan Komponen Kebudayaan
Wujud Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
·                        Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
·            Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
·                  Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Komponen Kebudayaan
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora, yaitu :
·                     Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
·                     Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
·            Lembaga social
Lembaga social dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier
·                  Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
·   Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
·                  Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.
2.3               Faktor Pembentukan Budaya
Tinjauan Antropologis Terhadap Pembentukan Budaya
Tijauan antropologis yang dimaksud adalah tinjauan dari aspek penciptaan budaya oleh manusia. Tinjauan ini dimaksudkan untukmendapatkan keterangan sampai seberapa jauh aspek-aspek manusiawi yang mempengaruhi lahirnya kebudayaan, terutama pembinaan moral bangsa. Suatu ketentuan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa manusia merupakan makhluk budaya, dalam arti dengan seluruh potensi yang dimiliki, ia mampu melahirkan cipta, rasa, dan karsa. Inilah yang paling menarik perhatian para pemikir, baik dari kalangan umum maupun dari kalangan Islam, sehingga banyak di antara mereka menghabiskan waktunya untuk melakukan penelitian-penelitian dalam bidang ini.Dengan behavioral science, mereka melakukan analisis psikologis terhadap tingkah laku manusia guna memperoleh kejelasan terhadap kerja cipta, rasa, dan karsa, melauli beberapa aspek antara lain: cognitive dan emosi.Dari penelitian-penelitian tersebut didapat berbagai potensi yang terdapat pada manusia sejak ia dilahirkan. Pada saat diciptakan, manusia telah dilengkapi dengan empat fitrah (dorongan) yang menjadi potensi bagi pengembangan budaya. dari keempat dorongan itu manusia mampu menciptakan budaya sebagai pengejawantahan dari cipta, rasa, dan karsa. Dorongan-dorongan itu ialah:
1. Dorongan Naluri (hidayah fitriyah). Sejak dilahirkan, manusia telah menampakkan gejala-gejala sebagai pertanda bahwa dia adalah makhluk berbudaya, antara lain terlihat pada saat lapar ataupun haus, ia mengeluarkan suara tangisan dan pada saat disusui ibunya, ia mampu menghisap air susu ibu tersebut tanpa ada yang mengajarinya.Gejala yang disebut juga dengan instinct Inilah yang mendasri penciptaan budaya, meskipun dalam bentuk prima.Potensi naluri yang terdapat pada diri manusia secara natural ini, dimiliki juga oleh binatang dan tumbuh-tumbuhan.
2. Dorongan Indrawi (hidayah hissiyah). Di samping naluri, manusi juga diberi kemampuan menerima rangsangan dari luar seperti panas ataupun dingai, bunyi-bunyian, pemandangan yang indah, bau-bauan, danmanis ataupun asin dengan perantaraan panca inderanya yaitu: alat peraba, pendengar, pengelihat, pencium, dan perasa. Berbagai budaya yang berupa bunyi-bunyian, bentuk-bentuk pemandangan, peralatan, dan sebagainya adalah hasil tiruan manusia dari apa saja yang dapat ditangkap oleh pancainderanya. Dengan potensi itu manusia dapat menjaga kelangsungan hidupnya, melindungi dirinya dari bahaya yang mangancam, memenuhi kebutuhan minum, makan, bertempat tinggal, dan memenuhi kepuasan-kepuasan untuk dirinya. Di samping pada manusia, potensi ini juga didapati pada dunia binatang, tetapi tidak pada tumbuh-tumbuhan.
3. Dorongan Akal hidayah 'aqliyah). Gejala-gejala lahir yang ditangkap oleh pancaindera kadang-kadang menyimpang dari realitas yang sebenarnya, seperti halnya jalan karena api yang sebenarnya sejajar, tetapi pada jarak tertentu terlihat bertemu di satu titik, dan tongkat yang sebenarnya lurus, apabila dicelupkan ke dalam air tampak membengkok. Penyimpangan seperti itu tentu harus dikontrol dengan kemampuan akal, agar gejala-gejala yang sebenarnya dapat diketahui. Dengan potensi berfikir daya khayalnya, manusia mampu melakukan apreseasi (apperception), dan menyalurkan apresiasinya itu melalui cipta, rasa, dan karsa. Dari kemampuan akal ini, manusia mampu membuat alat untuk memudahkan keperluan-keperluannya, dari yang sederhana sampai yang canggih, sehingga oleh orang Barat disebut dengan the tool making animal (makhluk pembuat alat). Makin tinggi daya kreasi manusia, makin canggih pula bentuk-bentuk budaya materialnya.Ia tidak hanya mampu menciptakan alat dengan meniru benda-benda alam, tetapi juga mampu menciptakan konsep-konsep baru yang didapat dengan daya pikirannya. Melalui indera pendengarannya, manusia mampu menangkap getaran-getaran suara dari hembusan angin, gesekan batang pohon, dan sumber suara lainnya yang terekam dalam apresepsi material. Melalui daya ciptanya, manusia mampu melahirkan gambaran-gambaran bunyi yang mengandung arti tertentu untuk berkomunikasi dengan sesamanya atau dengan makhluk yang lain, sehingga oleh para filosof disebut dengan zoon politicon atau dalam bahasa Arab disebut al-hayawan al-Atiq (makhluk yang berbicara).
4. Dorongan Religi (hidayah diniyah). Karena daya pemikiran manusia tidak dapat menjangkau apa yang terdapat di balik alam maya pada, maka perlu disambung dengan bimbingan sang Pencipta alam semesta yang diturunkan melalui para rasul-Nya15. Dengan bimbingan ini manusia dapat mengetahui apa yang semestinya dilakukan, sehingga budaya yang diciptakan dapat berguna baik bagi dirinya, makhluk sesamanya, ataupun makhluk-akhluk yang lain. Menurut sifatnya, manusia adalah makhluk berberagama, atau disebut dengan istilah homo-relegiosi16. Dengan berpedoman pada agama, manusia dapat memperhalus budinya, sehingga ia bisa menjelaskan tugasnya sebagai Master of the World/ khalifahtullah di muka bumi ini.
Berdasarkan potensi yang ada pada manusia tersebut, pembentukan budaya dapat dibagi menjadi empat fase:
1) Fase Instinctive. Fase di mana dorongan pembentukan budaya itu semata-mata timbul dari naluri,
2) Fase Inderawi. Fase pembentukan budaya yang didorong oleh hasil penginderaan manusia pada alam sekitar,
3) fase Akal. Fase di mana manusia membentuk budayanya dengan jalan menggunakan kekuatan pikirannya serta imajinasinya, sehingga mampu menciptakan budaya,
4) Fase Religi. Bimbingan wahyu, intuisi atau bisikan yang dirasakan datangnya dari Maha Pencipta, sehingga memberikan dorongan-dorongan bagi manusia untuk melengkapi hasil budayanya dengan nilai-nilai keagamaan.
Penetrasi kebudayaan
Yaitu masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
·                     Penetrasi damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli.Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
·                     Penetrasi kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak.
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender.
2.4              Budaya sebagai salah satu faktor timbulnya konflik
Menurut Alo Liliweri konflik adalah bentuk perasaan yang tidak beres yang melanda hubungan antara satu bagian dengan bagian lain, satu orang dengan orang lain, satu kelompok dengan kelompok lain. Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur.
1.                  Pengertian Konflik
Konflik didefinisikan sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut.
Implikasi dari definisi konflik adalah :
1.                  Konflik dapat terjadi di dalam atau di luar sebuah system kerja peraturan.
2.                  Konflik harus disadari oleh setidaknya salah satu pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
3.                  Keberlanjutan bukan suatu hal yang penting karena akan terhenti ketika suatu tujuan telah tercapai
4.                  Tindakan bisa jadi menahan diri dari untuk tidak bertindak 
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan- permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih.
Menurut Indrio Gito Sudarmo dan I Nyoman Sudita, banyak Tokoh yang membahas mengenai “Teori Konflik” seperti Karl Marx, Durkheim, Simmel, dan lain-lain yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi dan sosial. Karl Marx melihat masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik melalui konflik. Ia mengantisipasi bahwa kedamaian dan harmoni akan menjadi hasil akhir sejarah perang dan revolusi kekerasan. Namun bentrokan kepentingan kepentingan ekonomi ini akan berakhir di dalam sebuah masyarakat yang tanpa kelas, tanpa konflik dan kreatifitas yang disebut komunisme. Kalau konflik ini terus terusan dibiarkan, akan membuat ketidakstabilan di masyarakat. Masyarakat akan merasa terancam dan tidak kenang dalam hidupnya.
Durkheim menekankan proses sosial yang meningkatkan integritas sosial dan kekompakan. Meskipun dia mengakui bahwa konflik terjadi dalam kehidupan sosial, dia cenderung untuk memperlakukan konflik yang berlebih-lebihan sebagai sesuatu yang tidak normal dalam integrasi masyarakat. Hubungan saling ketergantungan antara konflik dan kekompakan dinyatakan juga dalam dinamika di dalam hubungan kelompok dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group). Suatu kelompok atau masyarakat cenderung memiliki sumber yang dapat dikerahkan dan solidaritasnya diperkuat bila kelompok itu terlibat dalam konflik dengan kelompok atau masyarakat lain. Selama masa dimana ada ancaman atau konflik dengan organisasi luar, percekcokan atau konflik dalam kelompok cenderung rendah dan menurun.
2.                  Konflik Antar Etnis
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua kelompok etnis atau lebih. Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Namun biasanya konflik etnis bernuansa dengan kekerasan dan jatuh korban. Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis.
Faturochman menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik etnis terjadi disebuah tempat. Enam hal tersebut antara lain yakni:
1. Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak
2. Perebutan sumber daya
3. Sumber daya yang terbatas
4. Kategori atau identitas yang berbeda
5. Prasangka atau diskriminasi
6. Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
Konflik antar etnis yang terjadi dapat dikatakan karena kepentingan beberapa oknum atau pihak yang memang bertujuan untuk mengambil untung dari konflik tersebut. Etnis etnis yang saling berkonflik sangat mudah di adu domba karena memang sumber daya manusia yang terbatas. Dalam arti pendidikannya kurang dan tingkat ekonomi yang rendah. Seharusnya dari masing masing kepala daerah yang ada di wilayah konflik tersebut harus tegas membuat atau merealisikan kebijkan ketika terjadi sebuah konflik antar etnis.
Dalam konteks Indonesia sendiri, kita kerap kali mendengar terjadinya konflik antar etnis. Sebenarnya akar dari konflik ini adalah keterbelakangan dari masyarakat di wilayah konflik tersebut. Sementara itu, Sukamdi menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama, yakni:
1. Konflik muncul karena ada benturan budaya
2. Karena masalah ekonomi politik
3. Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.
Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.
Berdasarkan tulisan dari Stefan Wolff, bahwa konflik etnis ini sebagian besar terjadi di wilayah Afrika, Asia, serta sebagian Eropa Timur. Dikatakan bahwa negara-negara Eropa Barat serta Amerika Utara tidak terpengaruh atas konflik etnis yang terjadi di dunia ini. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa konflik tersebut terjadi di wilayah yang terbelakang secara peradaban? Belum ada jawaban atas pertanyaan ini. Jawaban yang cukup masuk akal akan pertanyaan ini adalah berdasarkan rentan waktu munculnya peradaban.
Asia dan Afrika adalah dua benua yang memiliki sejarah peradaban tertua di dunia. dan secara tidak sengaja, kedua benua ini memiliki berbagai macam etnis,ras, ataupun suku bangsa. Tentu saja hal ini tidak dapat ditemui di benua Amerika yang merupakan “peradaban baru” bentukan Eropa. Peradaban-peradaban ini sejak dahulu selalu terlibat perang suku. Celakanya, perang antar suku dan ras yang terjadi ini menyimpan dendam diantara semua pihak yang bertikai dan masih terbawa hingga kini. Dengan demikian, Wolff menyimpulkan bahwa “ethnic conflicts are based on ancient hatreds between groups fighting in them and that”. Sebagian kecil konflik yang terjadi adalah akibat isu kontemporer politik ataupun agama.
3.                  Konflik Antar Etnis di Indonesia
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Semboyan yang terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum menjiwai seluruh warga bangsa ini. Rasa satu kesatuan sebagai warga negara bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata semboyan bangsa ini hanya sekedar wacana belaka.
Di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan bangsa jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya. Setiap konflik yang berujung SARA bermula dari konflik individu yang kemudian mengarah ke konflik kolektif yang mengatasnamakan etnis. Kasus konflik Tarakan, Kalimantan Timur, berawal dari salah seorang pemuda Suku Tidung yang melintas di kerumunan Suku Bugis, lantas di keroyok oleh lima orang hingga tewas karena sabetan senjata tajam. Konflik Tarakan menjadi memanas nyatanya tersimpan dendam ke Suku Bugis yang lebih maju menguasai sektor ekonomi.   Faktor ekonomi juga menjadi penyebab utama konflik di bangsa ini, dalam kasus sebuah klub kafe di Bilangan Jakarta Selatan “Dari Blowfish Ke Ampera” antara Suku Ambon dan Suku Flores yang berawal dari perebutan jasa penjaga preman hingga konflik tersebut mengarah ke konflik etnis. Sampai pada Sidang Pengadilan masing-masing pihak yang bertikai masih menunjukan etnosentrisnya.
Penguasaan sektor ekonomi memicu besarnya sentimen etnis dan adanya prejudice membuat konflik meranah ke agama. Konflik agama yang terjadi di Poso jika ditelusi secara mendalam bermula dari pertikaian pemuda yang berbeda agama yang sedang mabuk hingga karena sentimen kepercayaan hingga merambah ke konflik etnis dan agama. Konflik Poso kian memanas ketika provokasi akan adanya masjid yang dibakar oleh umat kristiani, agama memang sangat rentan. Aparat Pemerintah bukanya sebagai penengah namun ikut andil dalam konflik ini. Nampaknya kesenjangan sosial ekonomi dari pendatang yang sebagai mayoritas menguasai sektor ekonomi membuat konflik menjadi lebih memanas.
Ketidakmerataan penyebaran penduduk juga dapat menimbulkan masalah. Kepadatan penduduk yang mendororong etnis Madura melakukan migrasi ke Pulau Kalimantan. Di mana masih membutuhkan kebutuhan akan Sumber Daya Manusia untuk mengolah kekayaan alam dan membangun infrastruktur perekonomian. Pencapaian atas kerja keras, hidup hemat bahkan penderitaan yang dirasakan etnis Madura terbayarkan sudah ketika keberhasilan sudah ditangan. Dengan menguasai sektor-sektor perdagangan sehingga orang-orang non Madura yang lebih awal bergerak di bidang itu terpaksa terlempar keluar.
Alternatif dalam menyatukan etnis di Indonesia dengan mengadakan akomodasi merupakan solusi yang tepat untuk menyatukan bangsa yang besar ini. KH. Abdurahman Wahid mengungkapkan “Sebuah bangsa yang mampu bertenggang rasa terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan ideologi adalah bangsa yang besar” untuk mewujudkan integrasi antaretnis di Indonesia dengan mutual of understanding, sehingga semboyan yang mencengkram dalam kaki kuat Burung Garuda bukanlah wacana lagi.
4.                  Solusi Penyelesaian Konflik Antar Etnis
Konflik antar etnis di Indonesia harus segera diselesaikan dan harus sudah ada solusi konkritnya. Dalam bukunya Wirawan dengan judul Konflik dan Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian menjelaskan bagaimana cara menyelesaikan konflik antar etnis yang ada di sebuah Negara. Pertama, melalui Intervensi pihak ketiga. Dimana keputusan intervensi pihak ketiga nantinya final dan mengikat. Contoh adalah pengadilan. Kedua, Mediasi. Mediasi ini adalah cara penyelesaian konflik melalui pihak ketiga juga yang disebut sebagai mediator. Ketiga, Rokosialisasi. Proses penyelesaian konflik dengan transormasi sebelum konflik itu terjadi, dimana masyarakat pada saat itu hidup dengan damai. Adapun cara lain dalam menyelesaikan konflik yang ada, yakni:
1.     Konflik Itu Harus di Management Menuju Rekonsiliasi
Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang yang hidup di dunia ini. Apa lagi konflik yang bernuansa karena perbedaan agama yang dianut dan pebedaan etnis. Konflik yang demikian itu memang suatu konflik yang sangat serius. Untuk meredam wajah bahaya dari konflik itu, maka konflik itu harus dimanagement agar ia berproses ke arah yang positif. Dr. Judo Poerwowidagdo, MA. Dosen Senior di Universitas Duta Wacana Yogyakarta menyatakan bahwa proses konflik menuju arah yang positif itu adalah sbb: Dari kondisi yang “Fight” harus diupayakan agar menuju Flight. Dari kondisi Flight diupaykan lagi agar dapat menciptakan kondisi yang Flaw. Dari Flaw inilah baru diarahkan menuju kondisi Agreement, terus ke Rekonsiliasi. Karena itu, masyarakat terutama para pemuka agama dan  etnis haruslah dibekali ilmu Management Konflik setidak-tidaknya untuk  tingkat dasar.
2.     Merobah Sistem Pemahaman Agama.
Konflik  yang bernuansa agama bukanlah karena agama yang dianutnya itu mengajarkan untuk  konflik. Karena cara umat memahami ajaran agamanyalah yang menyebabkan mereka menjadi termotivasi untuk melakukan konflik. Keluhuran  ajaran agama masing-masing hendaknya tidak di retorikakan secara berlebihan. Retorika yang berlebihan dalam mengajarkan agama kepada umat masing-masing menyebabkan umat akan merasa dirinya lebih superior dari pemeluk agama lain. Arahkanlah pembinaan kehidupan beragma untuk menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang dianut. Misalnya, semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup sabar menghadapi proses kehidupan ini. Menjadi lebih tabah menghadapi berbagai AGHT (ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan) dalam menghadapi hidup ini. Rela berkorban demi kepentingan yang lebih mulia. Tidak mudah putus asa memperjuangkan sesuatu yang benar dan adil. Tidak mudah mabuk atau lupa diri kalau mencapai sukses. Orang yang sukses seperti menjadi kaya, pintar, menjadi penguasa, cantik, cakep, memiliki suatu power, merasa diri bangsawan. Semuanya itu dapat menyebabkan orang menjadi mabuk kalau kurang waspada membawa diri. Hal-hal yang seperti itulah yang sesungguhnya lebih dipentingkan oleh masyarakat bangsa kita dewasa ini.
3.     Mengurangi Penampilan Berhura-Hura dalam Kehidupan Beragama.
Kegiatan beragama seperti perayaan hari raya agama, umat hendaknya mengurangi bentuk perayaan dengan penampilan yang berhura hura.  Hal ini sangat mudah juga memancing konflik. Karena umat lain juga dapat terpancing untuk menunjukan existensi dirinya bahwa ia juga menganut agama yang sangat hebat dan luhur.
4. Redam Nafsu Distinksi Untuk Menghindari Konflik Etnis.
Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari dalam dirinya. Salah satu nafsu itu ada yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini mendorong seseorang untuk menjadi lebih dari yang lainya. Kalau nafsu ini dikelola dengan baik justru akan membawa manusia menjadi siap hidup bersaing. Tidak ada kemajuan tanpa persaingan. Namun, persaingan itu adalah persaingan yang sehat. Persaingan yang sehat itu adalah persaingan yang berdasarkan noram-norma Agama, norma Hukum dan norma-norma kemanusiaan yang lainya. Namun, sering nafsu Distinksi ini menjadi dasar untuk mendorong suatu etnis bahwa mereka  adalah memiliki berbagai kelebihan dari etnis yang lainya. Nafsu Distinksi ini sering membuat orang buta akan berbagai kekuranganya. Hal inilah banyak orang menjadi  bersikap sombong  dan exlusive karena merasa memiliki kelebihan etnisnya.
Untuk membangun kebersamaan  yang setara, bersaudara  dan  merdeka mengembangkkan fungsi, profesi dan posisi, maka dalam hubungan dengan sesama dalam suatu masyarakat ada baiknya kami sampaikan pandangan Swami Satya Narayana sbb: “Agar hubungan sesama manusia menjadi harmonis, seriuslah melihat kelebihan pihak lain dan remehkan kekuarangannya. Seriuslah melihat kekurangan diri sendiri dan remehkan kelebiihan diri”. Dengan  demikian semua pihak akan mendapatkan  manfaat dari hubungan sosial tersebut. Di samping mendapatkan sahabat yang semakin erat, juga mendapatkan  tambahan pengalaman positif dari sesama dalam pergaulan sosial. Dengan melihat kelebiihan sesama maka akan semakin  tumbuh rasa persahabatan yang semakin kekal. Kalau kita lihat kekurangannya maka kita akan terus merasa jauh  dengan  sesama dalam hubungan sosial  tersebut.

BAB III

PEMBAHASAN


Kasus yang dibahas :
TIMIKA - Ratusan warga dari dua kampung, di Kampung Timika, Gunung Distrik Kuala Kencana, sore tadi kembali terlibat bentrok. Padahal, kedua pihak sebelumnya sepakat akan berdamai dan melakukan seremoni patah panah.

Sebelum terlibat bentrok, situasi warga yang bertikai di kawasan Jayanti, sudah mualai kondusif, di mana dalam lima bulan terakhir kedua kelompok ini terlibat aksi sengketa lahan.

Namun entah mengapa, tiba-tiba sore tadi kedua kelompok kembali bertikai dan terlibat aksi saling serang. Sementara pihak kepolisian bersama Brimob disiagakan di perbatasan kampung langsung membuat blokade di perbatasan kedua kampung.

Kendati begitu, warga tetap melakukan aksi saling serang. Untuk menghentikan aksi warga kedua kelompok itu, pihak kepolsian terpaksa menghalau kedua kelompok dengan menyemprotkan air dari water canon.

Meski telah dihadang dengan menggunakan water canon, kedua kelompok warga itu tetap memaksakan diri untuk terlibat aksi saling serang. Dari catatan kepolisian, aksi saling serang mengakibatkan beberapa warga dari kedua kampung terluka.

Pertikaian antar kedua kampung yang didominasi suku Dani dan Mony ini, sudah berlangsung enam bulan, dengan korban tewas  sudah mencapai 20 orang dan ratusan lainnya luka-luka.

Sebelum status tanah itu ditetapkan, maka aksi saling serang di antara kedua kelompok ini akan kembali pecah secara tiba-tiba. Sehingga kondisi tersebut semakin sulit untuk diredam.

Dari judul yang kami ambil yaitu “Peperangan Kebudayaan” sesungguhnya yang ingin kami soroti disini adalah bagaimana persatuan di Negara kita ini dapat terbentuk dengan keragaman budaya yang luar biasa. Namun nyatanya tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mewujudkna harapan itu. Hal ini disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh Sukamdi menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama, yakni:
1. Konflik muncul karena ada benturan budaya,
2. Karena masalah ekonomi politik,
3. Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial.                       
Kita dapat melihat bahwa salah satu faktor timbulnya konflik adalah karena benturan budaya.
Ini dikarenakan, budaya disuatu daerah yang sudah tertanam dengan kuat pada orang-orang yang terikat dnegan budaya itu, adakalanya sulit untuk menerima perbedaan dan sensitive terhadap pengaruh budaya dari luar, hingga terkadang terlalu agresif menyikapi perbedaan.
Salah satu contoh nyatanya adalah kasus yang terjadi di Timika yang telah dijabarkan diatas.










BAB IV

PENUTUP
4.1              Simpulan
-                      Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
-                      Wujud dan komponen Kebudayaan
·                     Gagasan (Wujud ideal)
·                     Aktivitas (tindakan)
·                     Artefak (karya)
-                      Komponen Kebudayaan :
·                     Kebudayaan material
·                     Kebudayaan nonmaterial :
o        Lembaga social
o        Sistem kepercayaan
o        Estetika
o        Bahasa
-                      Faktor pembentuk budaya
·                     Dorongan Akal hidayah 'aqliyah).
·                     Dorongan Indrawi (hidayah hissiyah).
·                     Dorongan Akal (hidayah 'aqliyah).
·                     Dorongan Religi (hidayah diniyah).
-                      Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
-                      Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan bangsa jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis dengan etnis lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”, mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat etnis lain sebagai musuh baginya.
4.2 Saran
Setiap Negara memiliki kebudayaannya masing-masing. Sebagai makhluk sosial, manusia harus saling menghargai dan saling menghormati perbedaan kebudayaan tersebut.Khususnya di Negara Indonesia yang sangat beragam suku dan budayanya, maka dari itu masyarakat Indonesia perlu memiliki jiwa toleransi yang tinggi. Karena kebudayaan yang berbeda harusnya tidak menjadi  menjadi sumber konflik yang dapat memecahkan persatuan daerah satu dan lainnya. Justru dengan beragamnya suku bangsa dapat menjadikan Indonesia kaya dengan kebudayaan serta dibarengi dengan toleransi tinggi. Maka, tak salah jika kita berbeda, yang keliru adalah manakala perbedaan itu tak membuat kita bersatu, sudah seharusnya kita melaksanakan semboyan Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”.














DAFTAR PUSTAKA























Lampiran
INFORMAN 1
Nama                                       : Uswa Hasanah
Alamat                                                : Geger Kalong Tengah
Usia                                         : 20 Tahun
Pendidikanterakhir                  : SMA
Status                                      : Mahasiswa Jurusan Psikologi UPI
Pekerjaan                                 : -
Hasil wawancara                     :
1.) Apa yang dimaksud dengan kebudayaan?
Menurut Ki Hajar Dewantara kebudayaan adalah hasil karya cipta dan karsamanusia. Kebudayaan tidak hanya dalam bentuk barang, tapi juga dalam bentuk peraturan maupun kesenian.
2.) Bagaimana kondisi kebudayaan di Indonesia?
Budaya Indonesia sangat kaya. Dilihat dari bahasa, dan kesenian, kebudayaan di Indonesia sangat beragam.Peraturan dan kebijakan dari setiap daerah pun berbeda-beda. Tapi sekarang bangsa Indonesia banyak menyerap kebudayaan dariluarnegri. Kebudayaan asing tidak disaring dulu, jadi seakan-akan ditelan mentah-mentah oleh Bangsa Indoesia tanpa mempertimbangkan baik buruknya darikebudayaan baru yang masuk ke Indonesia.
3.) Apakah budaya dapat menjadi pemicu konflik?
Sebenarnya yang dapat menjadi pemicu konflik itu bukan dari budayanya, melainkan dari orang-orang yang menyerap kebudayaan asing yang kurang bijaksana dalam menyikapi masuknya kebudayaan yang baru.
4.) Bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan budaya?
Jangan menilai orang dari satu sisi saja, karna itu adalah tindakan yang tidak bijaksana.
INFORMAN 2
Nama                                       : Hendrik N.
Alamat                                                : Geger Arum
Usia                                         : 19 Tahun
Pendidikanterakhir                  : SMA
Status                                      : Mahasiswa Jurusan PKN UPI
Pekerjaan                                 : -
Hasilwawancara                      :
1.) Apa yang dimaksud dengan kebudayaan?
Kebudayaan adalah kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun. Kebudayaan wajib dibagikan kepada anak cucunya.
2.) Bagaimana kondisi kebudayaan di Indonesia?
Kebudayaan di Indonesia sudah mulai terkikis, akibat dari masuknya budaya asing. Budaya yang terkikis dimulai dari kota-kota besar, kebudayaannya mulai hilang.
3.) Apakah budaya dapat menjadi pemicu konflik?
Jauh sebelumnya, kebudayaan bukan pemicu sebuah konflik karena dahulu kebudayaan masih dipegang kuat dan itu dapat menyatukan kita, tapi setelah adanya perkembangan zaman, itu bisa menjadi konflik.Akibat dari munculnya rasa ego “kebudayaan saya lebih bagus dari pada kebudayaan kamu” sehingga timbullah konflik.
4.) Bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan budaya?
Kita harus sadar bahwa Indonesia adalah Negara majemuk, dari beragam pulau, suku, dan budaya. Jadi kita harus mempunyai rasa menghargai sesama kebudayaan.  Dimana pun kita berada kita harus menghargai kebuyaan daerah tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar