BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Masalah
Bullying
telah menjadi masalah yang cukup urgent
pada saat ini. Masalah ini terjadi di setiap kalangan, di setiap tempat, dan di
setiap waktu. Tergantung lingkungannya. Bullying sendiri memiliki dampak yang
amat besar bagi perkembangan manusia, baik individu maupun golongan. Kajian
karya tulis ini bertujuan untuk membahas tentang bullying. Mengapa hal itu
terjadi, dan bagaimana dampak penanggulangannya berdasarkan teori yang telah
diberikan oleh para ahli.
I.2
Rumusan Masalah
a) Mengapa bullying dapat terjadi?
b) Bagaimana modus praktek bullying? Apa
saja jenisnya?
c) Bagaimana nasib korban dan pelaku
bullying?
d) Bagaimana solusi untuk meminimalisir
bullying?
I.3
Tujuan Pembahasan
a. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi
bullying
b. Untuk meberikan kesadaran tentang
urgensi dari bullying
c. Untuk membantu dan memberikan solusi
bagi para korban bullying
BAB II
LANDASAN
TEORITIS
II.1 Pengertian Bullying
Secara etimologi, kata
"bully" pertama kali digunakan pada 1530-an yang berarti
"Sayang", diterapkan untuk kedua jenis kelamin, dari Belanda Boel
"kekasih, saudara", mungkin mungil Tengah Jerman Tinggi buole
"saudara", asal tidak pasti (bandingkan denganJerman Buhle
"kekasih"). Arti memburuk melalui abad ke-17 melalui "sesama
baik", "blusterer", untuk "melecehkan orang yang
lemah". Ini mungkin sebagai rasa yang menghubungkan antara
"kekasih" dan "bajingan" seperti dalam "pelindung
pelacur", yang merupakan salah satu rasa "bully" (meskipun tidak
secara khusus dibuktikan sampai 1706). Kata kerja "menggertak"
pertama kali dibuktikan dalam 1710.
Menurut istilah, bullying
adalah penggunaan kekuatan, ancaman, atau pemaksaan untuk penyalahgunaan,
mengintimidasi,atau agresif mendominasi orang lain. Perilaku tersebut sering
diulang dan menjadi kebiasaan. Perilaku yang digunakan untuk menegaskan
dominasi tersebut dapat mencakup pelecehan lisan atau ancaman, serangan fisik
atau paksaan, dan tindakan tersebut dapat diarahkan berulang kali terhadap
target tertentu. Pembenaran dan rasionalisasi atas perilaku tersebut
kadang-kadang termasuk perbedaan kelas sosial, ras, agama, jenis kelamin,
orientasi seksual, penampilan, perilaku, bahasatubuh, kepribadian, reputasi,
keturunan, kekuatan, ukuran atau kemampuan. Jika bullying dilakukan oleh kelompok,
hal itu disebut mobbing. "Target" bullying juga kadang-kadang disebut
sebagai "korban" bullying.
Bullying terdiri dari empat
jenis dasar pelecehan Emosional (kadang-kadang disebut relasional), verbal,
fisik,dan cyber. Ini biasanya melibatkan metode pemaksaan pemaksaan seperti
intimidasi.
Bullying berkisar dari yang
sederhana satu per satu intimidasi bullying yang lebih kompleks di mana
pengganggu mungkin memiliki satu atau lebih yang mungkin tampak bersedia untuk
membantu pengganggu utama di atau kegiatan intimidasi nya.Sebuah budaya
intimidasi dapat berkembang dalam setiap konteks di mana manusia berinteraksi
satu sama lain. Ini termasuk sekolah, keluarga, kerja, tempatrumah, dan
lingkungan.
Bullying dapat didefinisikan
sebagai aktivitas berulang, perilaku agresif yang dimaksudkan untuk menyakiti
orang lain, secara fisik, mental atau bahkan emosional. Bullying dicirikan oleh
berperilaku individu dengan cara tertentu untuk mendapatkan kekuasaan atas
orang lain. Peneliti Norwegia, Dan Olweus mengatakan intimidasi terjadi ketika
seseorang "terbuka, berulang-ulang dan dari waktu ke waktu, untuk tindakan
negatif pada bagian dari satu atau lebih orang lain ". Dia mengatakan
tindakan negatif terjadi "ketika seseorang sengaja menimbulkan luka atau
ketidaknyamanan pada orang lain, melalui kontak fisik, melalui kata-kata atau
dengan cara lain."
II.2 Sejarah Bullying
Bentuk tingkat tinggi
kekerasan seperti penyerangan dan pembunuhan biasanya menerima sebagian besar
perhatian media, tapi bentuk dari tingkat kekerasan yang lebih rendah seperti
intimidasi hanya oleh 2000-an mulai ditangani oleh para peneliti, orang tua dan
wali, dan tokoh-tokoh. Hanya dalam
beberapa tahun terakhir bahwa bullying telah diakui dan dicatat sebagai
pelanggaran terpisah dan berbeda, tetapi ada telah didokumentasikan dengan baik
kasus-kasus yang telah tercatat selama berabad-abad. Virginia Woolf dianggap
fasisme sebagai bentuk bullying, dan menulis tentang Hitler dan Nazi pada tahun
1934 sebagai “brutal ini membully".
II.3 Jenis-Jenis Bullying
Terdapat beberapa
jenis-jenis bullying. Bullying dapat berbentuk tindakan fisik dan verbal yang
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.Barbara Coloroso (2006:47-50)
membagi jenis-jenis bullying kedalam empat jenis, yaitu sebagai berikut:
1.
Bullying secara verbal; perilaku ini dapat berupa julukan nama, celaan,
fitnah, kritikan kejam, penghinaan, pernyataan-pernyataan yang bernuansa ajakan
seksual atau pelecehan seksual, terror, surat-surat yang mengintimidasi,
tuduhan-tuduhan yang tidak benar kasak-kusuk yang keji dan keliru, gosip dan
sebagainya. Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam bentuk verbal adalah
salah satu jenis yang paling mudah dilakukan dan bullying bentuk verbal akan
menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya serta dapat menjadi langkah
pertama menuju pada kekerasan yang lebih lanjut.
2.
Bullying secara fisik; yang termasuk dalam jenis ini ialah memukuli,
menendang, menampar, mencekik, menggigit, mencakar, meludahi, dan merusak serta
menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas. Kendati bullying jenis
ini adalah yang paling tampak dan mudah untuk diidentifikasi, namun kejadian
bullying secara fisik tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain. Remaja yang
secara teratur melakukan bullying dalam bentuk fisik kerap merupakan remaja
yang paling bermasalah dan cenderung akan beralih pada tindakan-tindakan
kriminal yang lebih lanjut.
3.
Bullying secara relasional adalah pelemahan harga diri korban secara
sistematis melalui pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Perilaku ini dapat
mencakup sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan
mata, helaan nafas, cibiran, tawa mengejek dan bahasa tubuh yang mengejek.
Bullying dalam bentuk ini cenderung perilaku bullying yang paling sulit
dideteksi dari luar. Bullying secara relasional mencapai puncak kekuatannya
diawal masa remaja, karena saat itu tejadi perubahan fisik, mental emosional
dan seksual remaja. Ini adalah saat ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri
mereka dan menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
4.
Bullying elektronik; merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan
pelakunya melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone, internet,
website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan untuk
meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman video
atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying
jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman
cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Pada umumnya, anak laki-laki
lebih banyak menggunakan bullying secara fisik dan anak wanita banyak
menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya sama-sama menggunakan
bullying verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan dengan pola sosialisasi yang
terjadi antara anak laki-laki dan perempuan (Coloroso, 2006:51).
Selanjutnya, Riauskina,
Djuwita, dan Soesetio (2005) mengelompokkan jenis-jenis bullying ke dalam 5
kategori yaitu:
1.
Kontak fisik langsung, memukul, mendorong, menggigit, menjambak,
menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk
memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.
2.
Kontak verbal langsung, mengancam, mempermalukan, merendahkan,
mengganggu, member panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan
(put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gossip.
3.
Perilaku non-verbal langsung, melihat dengan sinis, menjulurkan lidah,
menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam, biasanya
disertai oleh bullying fisik atau verbal.
4.
Perilaku non-verbal tidak langsung, mendiamkan seseorang, memanipulasi
persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan,
mengirimkan surat kaleng.
5.
Pelecehan seksual, kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau
verbal. Meskipun anak laki-laki dan anak perempuan yang melakukan bullying
cenderung sama-sama menggunakan bullying verbal, namun pada umumnya, perilaku
bullying fisik lebih banyak dilakukan oleh anak laki-laki dan bullying bentuk
verbal banyak digunakan oleh anak perempuan.
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
III.1 Mengapa Bullying dapat terjadi?
Penelitian terbaru
menunjukkan, kejadian bullying terjadi murni karena pikiran jahat
seorang pelaku, juga perilaku ”berbeda” yang ditunjukkan si korban. Karena itu,
orangtua musti lebih waspadamengawasibuah hatinya.
Kekerasan yang terjadi antarteman di sekolah atau biasa dikenal sebagai bullying masih saja terjadi. Korban-korban pun terus berjatuhan. Perilaku seperti ini tak hanya mengarah ke kekerasan fisik, tapi juga mental, verbal, psikologis, emosional, dan seksual.
Intinya, bullying merupakan sebuah bentuk intimidasi yang dilakukan terus-menerus dengan tujuan menyakiti orang lain.
Kekerasan yang terjadi antarteman di sekolah atau biasa dikenal sebagai bullying masih saja terjadi. Korban-korban pun terus berjatuhan. Perilaku seperti ini tak hanya mengarah ke kekerasan fisik, tapi juga mental, verbal, psikologis, emosional, dan seksual.
Intinya, bullying merupakan sebuah bentuk intimidasi yang dilakukan terus-menerus dengan tujuan menyakiti orang lain.
III.2 Motif Praktek Bullying
Mengapa
seorang remaja melakukan tindakan negatif tersebut? Sebuah studi terbaru di
Swedia berusaha membuka tabir soal ini.
Hasilnya terungkap, baik pelaku maupun korban bullying memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dibandingkan teman lain di lingkungan sekitarnya. Kesimpulan studi ini dipublikasikan online dalam jurnal yang diterbitkan oleh Springer bertajuk Child & Youth Care Forum.
Menurut pemimpin studi ini, Dr Robert Thornberg dan Sven Knutsen dari Linkoping University di Swedia, studi ini juga menghasilkan data sekitar 42% dari partisipan menyalahkan korban yang akhirnya menyebabkan terjadinya bullying.
Dalam studi ini, Thornberg dan Knutsen berusaha mendengarkan penjelasan remaja mengapa melakukan itu dan berusaha memahami tindakannya, baik sebagai pelaku ataupun pengamat saja.
Para peneliti juga ingin mengetahui remaja yang memiliki atribut atau bertingkah laku seperti apa yang akan terlibat bullying. Dari sini, ternyata terdapat banyak perbedaan jawaban dan alasan bergantung pada pengalaman remaja partisipan itu sendiri.
Perbedaan jenis kelamin juga ternyata berpengaruh saat memutuskan siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini, apakah pelaku atau korban. Sebanyak 176 siswa sekolah menengah atas yang berusia antara 15 dan 16 tahun di Swedia berpartisipasi dalam studi ini.
Mereka mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai pengalaman kejadian bullying di sekolah mereka (baik sebagai penonton, korban, dan atau pelaku), serta penjelasan mengapa sebenarnya bullying itu bisa terjadi.
Peneliti menemukan bahwa 69% dari siswa partisipan menyebut penyebab bullying itu tindakan jahat si pelaku. Para penganiaya tersebut mengalami semacam kelemahan batin (misalnya rasa tidak aman dan rendah diri) dan keinginan mereka untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan mereka, status, dan popularitas di sekolah.
Itu adalah dua alasan paling umum yang diungkapkan para korban bullying. Menariknya, 42% di antara remaja tersebut justru menyalahkan korban kekerasan dan penyimpangan mereka dari norma yang biasa berlaku di masyarakat (misalnya terlihat berbeda atau disebut aneh) sebagai alasan mengapa bullying bisa terjadi.
Sebaliknya, hanya 21% dari remaja yang mengatakan bahwa penyebab bullying adalah karena tekanan teman satu geng di sekolah, 7% karena peraturan sekolah yang terlalu longgar, dan sisanya menyebut karena sifat manusia atau sosial pada umumnya. Remaja perempuan sendiri lebih banyak menyalahkan pengganggu daripada korban bullying.
Hasilnya terungkap, baik pelaku maupun korban bullying memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dibandingkan teman lain di lingkungan sekitarnya. Kesimpulan studi ini dipublikasikan online dalam jurnal yang diterbitkan oleh Springer bertajuk Child & Youth Care Forum.
Menurut pemimpin studi ini, Dr Robert Thornberg dan Sven Knutsen dari Linkoping University di Swedia, studi ini juga menghasilkan data sekitar 42% dari partisipan menyalahkan korban yang akhirnya menyebabkan terjadinya bullying.
Dalam studi ini, Thornberg dan Knutsen berusaha mendengarkan penjelasan remaja mengapa melakukan itu dan berusaha memahami tindakannya, baik sebagai pelaku ataupun pengamat saja.
Para peneliti juga ingin mengetahui remaja yang memiliki atribut atau bertingkah laku seperti apa yang akan terlibat bullying. Dari sini, ternyata terdapat banyak perbedaan jawaban dan alasan bergantung pada pengalaman remaja partisipan itu sendiri.
Perbedaan jenis kelamin juga ternyata berpengaruh saat memutuskan siapa yang harus disalahkan dalam kasus ini, apakah pelaku atau korban. Sebanyak 176 siswa sekolah menengah atas yang berusia antara 15 dan 16 tahun di Swedia berpartisipasi dalam studi ini.
Mereka mengisi kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai pengalaman kejadian bullying di sekolah mereka (baik sebagai penonton, korban, dan atau pelaku), serta penjelasan mengapa sebenarnya bullying itu bisa terjadi.
Peneliti menemukan bahwa 69% dari siswa partisipan menyebut penyebab bullying itu tindakan jahat si pelaku. Para penganiaya tersebut mengalami semacam kelemahan batin (misalnya rasa tidak aman dan rendah diri) dan keinginan mereka untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan mereka, status, dan popularitas di sekolah.
Itu adalah dua alasan paling umum yang diungkapkan para korban bullying. Menariknya, 42% di antara remaja tersebut justru menyalahkan korban kekerasan dan penyimpangan mereka dari norma yang biasa berlaku di masyarakat (misalnya terlihat berbeda atau disebut aneh) sebagai alasan mengapa bullying bisa terjadi.
Sebaliknya, hanya 21% dari remaja yang mengatakan bahwa penyebab bullying adalah karena tekanan teman satu geng di sekolah, 7% karena peraturan sekolah yang terlalu longgar, dan sisanya menyebut karena sifat manusia atau sosial pada umumnya. Remaja perempuan sendiri lebih banyak menyalahkan pengganggu daripada korban bullying.
III.3 Dampak Bullying
III.3.1. Dampak Terhadap Mental
a.
Dampak bagi Korban
Hasil
studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center Sanders
(2003; dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja
merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan
menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka
waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi
sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap
stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih ekstrim,
bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau
melakukan bunuh diri (commited suicide).
Coloroso
(2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara
berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban akan merasa
depresi dan marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying,
terhadap orang-orang di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat
atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi
akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi muncul dengan cara-cara yang
konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan mundur lebih jauh lagi
ke dalam pengasingan.
b.
Dampak bagi Pelaku
Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) National Youth
Violence Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini memiliki
rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung
bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak
keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah terhadap frustasi. Para
pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan
kurang berempati terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) mengungkapkan bahwa siswa akan
terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan
yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki
empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat
mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang.
Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan
bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus
tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku
lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya.Pelaku
bullying yang kronis akan membawa perilaku itu sampai dewasa, akan berpengaruh
negatif pada kemampuan mereka untuk membangun dan memelihara hubungan baik
dengan orang lain.
c. Dampak bagi Siswa Lain
yang Menyaksikan Bullying (bystanders)
Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka
para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah
perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin
akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan
beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang
paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
III.3.2 Dampak Terhadap Fisik
a.
Dampak bagi Korban
Gangguan pada kesehatan fisik: sakit kepala, sakit
tenggorokan, flu, batuk- batuk, gatal-gatal, sakit dada, bibir pecah-pecah
(Rigby, K, 2003).
Studi menunjukkan anak-anak yang di-bully mengalami
penderitaan sosial dan emosional. Riset baru menunjukkan korban bullying
tampaknya menderita radang sistemik yang kronis, yang bisa memicu
penyakit-penyakit seperti diabetes dan penyakit pembuluh darah pada masa
dewasa.
b.
Dampak bagi Pelaku
Di saat bersamaan, pelaku bullying mungkin
sesungguhnya meraih manfaat sosial dari tindakannya, yang mendorong kesehatan
yang baik. Temuan itu dilaporkan tim peneliti Universitas North Carolina di
Chapel Hill dan Universitas Emory di Atlanda – Georgia dalam laporan berjudul
“Proceedings of the National Academy of Sciences”.
Dalam penelitian selama 20 tahun atas 1.400 individu
yang dipilih secara acak, tim peneliti mendapati tanda terjadinya peradangan
tingkat tinggi yang disebut C-reactive protein atau CRP dalam tubuh orang
dewasa yang di-bully sewaktu anak-anak. Kelompok itu dibandingkan dengan
anak-anak yang menjadi korban dan sekaligus pelaku, dan individu yang
diidentifikasi sebagai pelaku bullying saja.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
perilaku bullying dapat berdampak terhadap fisik maupun psikis pada korban,
Dampak fisik seperti sakit kepala, sakit dada, cedera pada tubuh bahkan dapat
sampai menimbulkan kematian. Sedangkan dampak psikis seperti rendah diri, sulit
berkonsentrasi sehingga berpengaruh pada penurunan nilai akademik, trauma,
sulit bersosialisasi, hingga depresi.
III.3.3 Contoh Dampak Korban Bullying
·
Megan
Taylor Meier. Cewek asal Missouri, Amerika Serikat ini ditemukan tewas gantung
diri beberapa minggu sebelum ulangtahunnya yang ke 14. Penyelidikan polisi
menemukan bukti bahwa Megan stres setelah mengalami cyber bullying lewat social
network oleh seorang temannya.
·
Phoebe
Prince. Kisah kematian cewek cantik ini termasuk contoh korban bullying yang
cukup tragis. Phoebe yang baru pindah dari Irlandia ke Massachusetts, Amerika
Serikat mengalami tindakan bullying yang serius dari teman-teman sekolahnya.
Karena nggak tahan siksaan tersebut, Phoebe pun bunuh diri. Padahal usianya
baru saja menginjak 15 tahun.
·
The
American Justice Department Bullying Suicide menyatakan bahwa setidaknya 1 dari
4 orang siswa sekolah di seluruh Amerika Serikat pernah di-bully oleh temannya
sendiri.
·
Hasil
penelitian pun menunjukan bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar
ketiga di Amerika Serikat, yaitu 4.400 kasus per tahun. Dan penyebab
terbesarnya adalah karena depresi akibat bullying.
·
Bukan
hanya di Amerika Serikat, sebuah penelitian di Inggris pun memperlihatkan kalau
separuh kasus bunuh diri pada remaja disebabkan karena bullying dan kebanyakan
menimpa cewek remaja usia 10-15 tahun.
III.4 Cara untuk Meminimalisir Bullying
III.4.1 Pencegahan
A.
Pencegahan di Sekolah:
a.
Menilai situasi di sekolah
b.
Mengikutsertakan orang tua dan murid
c.
Membuat kebijaksanaan dan aturan
d.
Membangun lingkungan yang aman
e.
Mengedukasi seluruh siswa dan staff sekolah
B.
Pencegahan untuk Orang Tua:
Memerhatikan beberapa ciri yang harus diperhatikan
orang tua terhadap anaknya:
1. Enggan untuk pergi sekolah
2. Sering sakit secara tiba-tiba
3. Mengalami penurunan nilai
4. Barang yang dimiliki hilang atau rusak
5. Mimpi buruk atau bahkan sulit untuk terlelap
6. Rasa amarah dan benci semakin mudah meluap dan
meningkat
7. Sulit untuk berteman dengan teman baru
8. Memiliki tanda fisik, seperti memar atau luka
Jika menemukan ciri-ciri seperti di atas, langkah yang
harus dilakukan orangtua di antaranya:
1. Berbicara dengan orangtua si anak yang melakukan
bully terhadap anak Anda
2. Mengingatkan sekolah tentang masalah seperti ini
3. Datangi konselor profesional untuk ikut membantu
mengatasi masalah ini
Jika tindakan kekerasan ini
masih terus berlanjut dan tidak ada respons yang baik dari sekolah, pikirkanlah
cara lain. Salah satu pilihan, jika memungkinkan, pindahkan sekolah anak Anda.
Dalam situasi yang ekstrem, mungkin perlu menghubungi polisi atau meminta
perlindungan. Namun, hal yang paling penting adalah mendengarkan komplain anak
dan tetaplah membuka komunikasi kepada mereka.
C.
Pencegahan untuk Anak yang Menjadi Korban Bullying:
a.
Bekali anak dengan kemampuan untuk membela dirinya sendiri, terutama ketika
tidak ada orang dewasa/ guru/ orang tua yang berada di dekatnya. Ini berguna
untuk pertahanan diri anak dalam segala situasi mengancam atau berbahaya, tidak
saja dalam kasus bullying. Pertahanan diri ini dapat berbentuk fisik dan
psikis.
·
Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan motorik yang baik
(bersepeda, berlari), kesehatan yang prima.
·
Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal sehat,
kemampuan analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana), kemampuan
menyelesaikan masalah.
b.
Bekali anak dengan kemampuan menghadapi beragam situasi tidak
menyenangkan yang mungkin ia alami dalam kehidupannya. Maka yang diperlukan
adalah kemampuan anak untuk bertoleransi terhadap beragam kejadian. Sesekali
membiarkan (namun tetap mendampingi) anak merasakan kekecewaan, akan melatih
toleransi dirinya.
c.
Walau anak sudah diajarkan untuk mempertahankan diri dan dibekali
kemampuan agar tidak menjadi korban tindak kekerasan, tetap beritahukan anak
kemana ia dapat melaporkan atau meminta pertolongan atas tindakan kekerasan
yang ia alami (bukan saja bullying). Terutama tindakan yang tidak dapat ia
tangani atau tindakan yang terus berlangsung walau sudah diupayakan untuk tidak
terulang.
d.
Upayakan anak mempunyai kemampuan sosialisasi yang baik dengan sebaya
atau dengan orang yang lebih tua. Dengan banyak berteman, diharapkan anak tidak
terpilih menjadi korban bullying karena:
·
Kemungkinan ia sendiri berteman dengan pelaku, tanpa sadar bahwa
temannya pelaku bullying pada teman lainnya.
·
Kemungkinan pelaku enggan memilih anak sebagai korban karena si anak
memiliki banyak teman yang mungkin sekali akan membela si anak.
·
Sosialisasi yang baik dengan orang yang lebih tua, guru atau pengasuh
atau lainnya, akan memudahkan anak ketika ia mengadukan tindakan kekerasan yang
ia alami.
BAB IV
PENUTUPAN
PENUTUPAN
IV.1.Kesimpulan
Bullying merupakan sebuah
bentuk intimidasi yang dilakukan terus-menerus dengan tujuan menyakiti orang
lain. Baik pelaku maupun
korban bullying memiliki karakteristik tertentu yang berbeda
dibandingkan teman lain di lingkungan sekitarnya. Kesimpulan studi ini
dipublikasikan online dalam jurnal yang diterbitkan oleh Springer
bertajuk Child & Youth Care Forum. Perbedaan jenis kelamin juga
ternyata berpengaruh saat memutuskan siapa yang harus disalahkan dalam kasus
ini, apakah pelaku atau korban. Penyebab
bullying itu tindakan jahat si pelaku. Para penganiaya tersebut mengalami
semacam kelemahan batin (misalnya rasa tidak aman dan rendah diri) dan keinginan
mereka untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan mereka, status, dan
popularitas di sekolah.
Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide). Sedangkan dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya.Pelaku bullying yang kronis akan membawa perilaku itu sampai dewasa, akan berpengaruh negatif pada kemampuan mereka untuk membangun dan memelihara hubungan baik dengan orang lain. Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide). Sedangkan dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya.Pelaku bullying yang kronis akan membawa perilaku itu sampai dewasa, akan berpengaruh negatif pada kemampuan mereka untuk membangun dan memelihara hubungan baik dengan orang lain. Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
Jika tindakan kekerasan ini
masih terus berlanjut dan tidak ada respons yang baik dari sekolah, pikirkanlah
cara lain. Salah satu pilihan, jika memungkinkan, pindahkan sekolah anak Anda.
Dalam situasi yang ekstrem, mungkin perlu menghubungi polisi atau meminta
perlindungan. Namun, hal yang paling penting adalah mendengarkan komplain anak
dan tetaplah membuka komunikasi kepada mereka.
IV.2. Saran-saran
Selain melakukan pemulihan terhadap korban bullying
ada hal lain yang bias kita kerjakan yaitu
Penanganan untukAnak yang Menjadi Pelaku Bullying:
1. Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia
lakukan. Jelaskan bahwa tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan
bantuan dari tenaga ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai
dengan tuntas.
2. Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab
menjadi penentu penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri
tentu akan ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam
karena pernah menjadi korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh
agresifitasnya yang berbeda.
3. Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan
menghakimi anak.
B. Penanganan di Sekolah
Paling ideal adalah apabila
ada kebijakan dan tindakan terintegrasi yang melibatkan seluruh komponen mulai
dari guru, murid, kepala sekolah, sampai orangtua, yang bertujuan untuk
menghentikan perilaku bullying dan menjamin rasa aman bagi korban.
Program anti-bullying di
sekolah dilakukan antara lain dengan cara menggiatkan pengawasan dan pemberian
sanksi secara tepat kepada pelaku, atau melakukan kampanye melalui berbagai
cara. Memasukkan materi bullying ke dalam pembelajaran akan berdampak positif
bagi pengembangan pribadi para murid.
Ratiyono mengemukakan dua
strategi untuk mengatasi bullying yakni strategi umum dan khusus.
·
Strategi umum dijabarkan dengan menciptakan kultur sekolah yang sehat.
Ratiyono mendeskripsikan kultur sekolah sebagai pola nilai-nilai, norma, sikap,
ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang
sekolah. Kultur sekolah dilaksanakan oleh warga sekolah secara bersama baik
oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa sebagai dasar dalam
memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul.
·
Sedangkan strategi khusus adalah mengidentifikasi faktor internal dan
eksternal yang menyebabkan terjadinya tindakan bullying di lingkungan sekolah,
aktifkan semua komponen secara proporsional sesuai perannya dalam menanggulangi
perilaku bullying, susun program aksi penanggulangan bullying berdasarkan
analisis menyeluruh dan melakukan evaluasi dan pemantauan secara periodik dan
berkelanjutan.
Daftar Pustaka
www.google.com
www.wikipedia.org/wiki/bullying
AR.
2012. Dampak Bullying bagi siswa.
http:/psychologymania.com/2012/06/dampak-bullying-bagi-siswa.html. Juni 2012.
Sasongko,
Agung. 2014. Ini Dampak ‘Bullying’ Terhadap Kesehatan JangkaPanjang. http:/m.republika.co.id/berita/gaya-hdup/info-sehat/14/05/13/n5hq62-ini-dampak-bullying-terhadap-kesehatan-jangka-panjang.
13-Mei-2014
Koran
Fesbuk. 2010. Bahaya dan Dampak Bullying. https:/facebook.com/notes/Koran-fesbuk/bahaya-dampak-bullying/408700614531.
2 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar